"Pertama, KUHP lama tidak menjamin kepastian hukum," kata Eddy, Kamis (5/9/2019).
Sejak Indonesia merdeka tahun 1945 hingga sekarang, Indonesia belum pernah menetapkan terjemahan resmi wetboek van strafrecht (nama asli KUHP). Dampaknya, terjadi ketidakpastian yang serius karena terjemahan KUHP berbeda-beda. Tidak hanya menyangkut unsur delik, tetapi juga menyangkut ancaman pidana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alasan kedua, KUHP saat ini berorientasi kepada keadilan retributif. Padahal, pidana modern telah beralih kepada keadilan korektif, rehabilitasi dan restoratif.
"Ketiga, sistem pemidanaan yang dalam dalam KUHP sudah out of date dengan perkembangan pemidanaan, termasuk standar penjatuhan pidana di berbagai belahan dunia," ujar Eddy.
Suara-suara yang ingin menolak pengesahan RUUHP berarti ingin mempertahankan status quo warisan kolonialProf Eddy OS Hiariej |
Alasan keempat, KUHP saat ini tidak bisa menampung perkembangan hukum pidana pasca Perang Dunia II. Kelima, jika RUU KUHP tidak disahkan menjadi UU pada periode DPR 2014-2019, maka menjadi kemunduran. Karena akan dimulai dari 0 lagi pada periode 2019-2024.
"Oleh karena itu, suara-suara yang ingin menolak pengesahan RUUHP lantaran beberapa pasal yang kontroversial berarti ingin mempertahankan status quo warisan kolonial dengan segala ketidakpastian hukum yang diakibatkannya," kata Eddy menegaskan.
Eddy menyadari, RUU KUHP bukan produk sempurna karena bukan kitab suci. Oleh sebab itu, tidak tabu untuk kemudian direvisi di kemudian hari.
"Pintu MK terbuka lebar bagi setiap individu yang merasa hak konstitusinalnya terlanggar oleh rumusan pasal-pasal KUHP baru," pungkas Eddy.
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini