"Kami meminta kepada Tim Perumus RKUHP untuk menghapuskan Pasal 281 dan Pasal 283 RKUHP dan meninjau ulang besaran ancaman pidana yang dikenakan dalam masing-masing pasal yang terkait delik penghinaan dalam proses peradilan," kata perwakilan advokat dari Ikadin, Erwin Natosmal Oemar, dalam siaran pers yang diterima detikcom, Kamis (5/9/2019).
Sikap itu dituangkan dalam sepucuk surat dan dikirimkan ke DPR. Yang menandatangani yaitu Ketua Umum DPN Peradi Luhut M.P Pangaribuan, Ketua Umum DPP Ikadin Roberto Hutagalung, Ketua Umum DPP Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) Yan Juanda Saputra, Ketua Umum Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Muhammad Ismak, Dewan Penasehat DPP PERADIN, Frans Hendra Winarta dan juga Ketua KAI Tjoejoek Sanjaya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sistem peradilan pidana Indonesia berada pada peringkat 13 dari 15 negara di regional (Asia Tenggara) atau peringkat 86 dari 126 negara secara global, dengan nilai 0,37 (dari skala 0-1). Demikian juga dengan sistem peradilan perdata (civil justice), yang berada peringkat 13 dari 15 negara di regional (Asia Tenggara) atau peringkat 102 dari 126 negara di tataran global, dengan nilai 0,44 (dalam skala 0-1).
"Hal itu terkonfirmasi pula dengan jumlah aktor peradilan yang ditangkap dan divonis bersalah di KPK, yang sebagian besar merupakan bagian dari penyelenggara peradilan," paparnya.
Dari 55 aktor peradilan yang ditangkap dan divonis bersalah, terdapat 20 orang hakim dan 10 orang panitera atau pegawai pengadilan atau 54 persen dari total aktor judicial corruption yang ditangani oleh lembaga antikorupsi tersebut.
"Secara teori, bahwa dalam sistem hukum kontinental seperti Indonesia, pengaturan contempt of court tidak tepat dimasukan dalam sistem hukum Indonesia karena kekuasan kehakiman di Indonesia sangat besar," cetus Erwin.
Hal yang berbeda dibandingkan dengan sistem common law di mana hakim yang berperan pasif atau terbatas. Besarnya kewenangan hakim di Indonesia, membuat kekuasaan kehakiman di Indonesia rentan disalahgunakan sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru.
"Harusnya, pemerintah dan DPR mengatur pembatasan kekuasaan dari potensi penyalagunaan kekuasaan kehakiman (contempt of power) bukan mengatur pemidanaan terhadap profesi advokat (contempt of court)," kata Erwin menegaskan.
Sebagaimana diketahui, perdebatan RUU KUHP telah berjalan 50 tahun lebih. Oleh sebab itu, DPR dan Pemerintah mengejar agar RUU KUHP bisa disahkan pada 24 September ini. Nantinya, masa transisi KUHP selama 3 tahun.
"Yang penting sekarang kita sahkan dulu. Tapi kalau masih tetap dianggap belum sempurna, masyarakat bisa mengajukan perubahan dengan mekanisme judicial review. Tapi yang penting sekarang kita sahkan dulu. Dengan demikian, kita tidak terombang-ambing lagi antara berbagai pendapat yang berbeda tersebut," kata Taufiqulhadi," kata anggota Panja RUU KUHP, Taufiqulhadi kepada wartawan, Rabu (3/9/2019).
Halaman 2 dari 3
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini