Si Juwita adalah nama singkat dari 'Pemanfaatan Data Kependudukan Terintegrasi Secara Online untuk mewujudkan Single Identity Number', yakni program Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang telah diganjar penghargaan dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB). Si Juwita menyabet penghargaan Top 99 Inovasi Pelayanan Publik 2019.
Program itu memberi hak akses untuk lembaga pemerintah dan swasta supaya bisa mengakses data kependudukan, data pribadi warga yang rahasia. Perusahaan swasta bisa mendapatkan data kependudukan untuk menunjang misi bisnis mereka.
Kontroversi bermula dari cuitan anggota Ombudsman, Alvin Lie Ling Piao. Melalui cuitan di akun Twitter-nya, Alvin mempertanyakan kebijakan negara mengelola data kependudukan itu.
"Bukankah ini penyalahgunaan data pribadi WNRI yang dikelola Pemerintah? Di mana perlindungan data pribadi WNRI?" sorot Lie via akun Twitternya, Sabtu (20/7/2019).
![]() |
Selain menyangsikan perlindungan data pribadi oleh pemerintah, Alvin juga menilai akhir-akhir ini makin banyak penipuan untuk dana ke rekening bank dengan identitas tak jelas. Makin hari, makin banyak pula penawaran kredit, asuransi, dan promo lainnya yang menyapa sasaran dengan nama lengkap dan data-data pribadi.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menjamin data kependudukan warga tetap aman. Soalnya, tak semua data rahasia itu bakal disedot oleh lembaga partikelir.
"Terbatas sekali. Satu hari sampai berapapun harus dilaporkan. Nggak bisa seenaknya, untuk kepentingan apa, untuk dalam hal apa, siapa yang mengakses, atas nama siapa, untuk siapa. Semua detail," kata Tjahjo di JCC, Jakarta Pusat, Senin (22/7/2019).
![]() |
Jadi, data kependudukan yang diambil oleh suatu lembaga harus dirinci secara jelas dan dilaporkan ke negara sebagai bentuk pertanggungjawaban lembaga tersebut. Tjahjo menjanjikan kontrol ketat terhadap kebijakan itu. Nota kesepahaman (MoU) juga disusun secara cermat memuat batas-batasnya. Akses itu mayoritas diberikan ke perusahaan perbankan hingga asuransi.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dirjen Dukcapil) Kemendagri, Zudan Arif Fakhrullah, menjelaskan penduduk sendiri sebenarnya sudah menyebarluaskan data kependudukannya lewat pembukaan rekening di bank, pembukaan asuransi, saat menyewa hotel, menjadi anggota klub olahraga, dan lain-lainnya. Padahal, penduduk yang mendaftar pelbagai jenis kegiatan itu juga tak bisa menjamin apakah institusi yang dia serahi data kependudukan bakal menggunakan data itu secara eksklusif atau bakal dibagikan ke anak-anak perusahannya. Si Juwita justru hadir menjamin agar data kependudukan tak disalahgunakan.
"Pemberian hak akses ini mampu mencegah fraud (penipuan), kejahatan pemalsuan data dan dokumen, juga meningkatkan kualitas pelayanan publik," kata Zudan," kata Zudan kepada wartawan.
Si Juwita sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk). Kebijakan itu juga sudah sesuai dengan Peraturan Mendagri Nomor 61 Tahun 2015 tentang Persyaratan Ruang Lingkup dan Tata Cara Pemberian Hak Akses Serta Pemanfaatan Nomor Induk Kependudukan, Data Kependudukan dan Kartu Tanda Penduduk Elektronik. Ternyata sudah ada seribuan lembaga yang menandatangani MoU dengan Kemendagri dalam program Si Juwita, dan ribuan perusahaan itu punya hak akses.
![]() |
"Saat ini sudah ada 1.227 lembaga yang bekerja sama dengan Dukcapil Kemendagri, termasuk perusahaan swasta dan lembaga pemerintah," kata Zudan.
Bagi perusahaan yang melanggar perlindungan data pribadi kependudukan, maka perusahaan tersebut akan mendapat sanksi. Ini diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Adminduk. Berikut adalah bunyi dua pasal yang relevan dengan sanksi terkait hal ini:
Pasal 95A
Setiap orang yang tanpa hak menyebarluaskan Data Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (3) dan Data Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1a) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
96a
Setiap orang atau badan hukum yang tanpa hak mencetak, menerbitkan, dan/atau mendistribusikan Dokumen Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Apakah keberadaan swasta sebagai pengguna data kependudukan pribadi punya landasan hukumnya? Zudan menyatakan pihak 'pengguna' yang disebut dalam Permendagri UU Nomor 24 Tahun 2013 dan Permendagri No 61 Tahun 2015 meliputi juga pihak swasta.
"Ada istilah lembaga pengguna, baik swasta maupun pemerintah dan berbadan hukum Indonesia," kata Zudan.
Dalam Bab I tentang Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 8 dicantumkan, "Pengguna data adalah lembaga negara, kementerian/lembaga pemerintah non kementerian dan/atau badan hukum Indonesia yang memerlukan informasi data kependudukan sesuai dengan bidangnya."
Jemput Bola, 138 Relawan Diterjunkan Rekam KTP Elektronik:
(dnu/zak)