"Setelah beberapa pertimbangan kami berikan, baik pertimbangan hukum atau non-hukum, terutama pada masa hukuman yang akan dijalani oleh ibu dan dipotong masa tahanan, maka kami tadi dan beliau juga memutuskan tidak akan mengajukan banding," kata pengacara Ratna Sarumpaet, Desmihardi, kepada wartawan di rutan Polda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (16/7/2019).
Desmihardi mengatakan keyakinan hakim soal Ratna Sarumpaet 'membuat keonaran' masih bisa diperdebatkan. Tapi pihak Ratna memilih tidak mengajukan permohonan banding.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ratna Sarumpaet sebelumnya menanggapi pertimbangan majelis hakim dalam putusan yang dibacakan pada persidangan, Kamis (11/7). Menurutnya, unsur keonaran seharusnya tidak terbukti sebagaimana dalam dakwaan jaksa. Tapi Ratna mempertanyakan pertimbangan hakim yang menyebut ada benih-benih keonaran.
"Benih-benih itu kan bahasa yang dikamuflase sedemikian rupa. Kan hukum itu ada kepastiannya, nggak bisa benih-benih kok tiba-tiba memunculkan itu. Nanti harus dibongkar lagi kamus bahasa Indonesia maksudnya," kata Ratna.
Keheranan yang sama diungkapkan putri Ratna, Atiqah Hasiholan. Atiqah mengaku bersyukur vonis jauh lebih rendah daripada tuntutan jaksa, yakni 6 tahun penjara.
"Tapi yang saya yakini adalah... apa makna keonaran itu, di mana sebenarnya tidak terpenuhi di sini. Tapi tiba-tiba muncul baru lagi, terjadinya benih-benih keonaran. Saya jadi, lo apa lagi ini benih-benih keonaran?" tutur Atiqah.
"Walaupun di satu sisi saya bersyukur, dari 6 tahun tuntutan, ibu saya divonis 2 tahun. Tapi ya itu dia ya, kata 'keonaran', 'benih-benih keonaran'," kata Atiqah heran.
Ratna Sarumpaet dihukum 2 tahun penjara karena terbukti menyebarkan hoax penganiayaan. Ratna terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Majelis hakim menimbang delik materiil pada Pasal 14 ayat 1 UU 1946, yakni menerbitkan keonaran. Majelis menimbang bahwa menerbitkan berarti menimbulkan perselisihan, membangkitkan amarah, kerugian, dan sebagainya.
Bibit atau benih keonaran dalam pertimbangan hakim didasari fakta-fakta persidangan, seperti kabar yang menjadi viral di dunia maya.
"Menjadi pro-kontra di medsos dan menjadi berita utama di media mainstream," kata hakim.
Selain itu, muncul demonstrasi di Polda Metro Jaya, termasuk pertemuan di sebuah restoran oleh sekelompok orang untuk menyikapi kabar penganiayaan Ratna Sarumpaet.
Ketegangan ini, disebut hakim, baru mereda setelah Ratna Sarumpaet menggelar jumpa pers mengakui kebohongannya dan meminta maaf pada 3 Oktober. Ratna mengakui perbuatannya setelah polisi menunjukkan bukti lebam dan bengkak di wajahnya setelah operasi plastik di RS Bina Estetika Menteng, Jakpus.
Ratna Sarumpaet, menurut majelis hakim, seharusnya menyadari, dalam dunia teknologi yang canggih, hoax penganiayaan bisa dengan mudah menyebar.
"Dan didukung situasi politik yang sedang memanas karena sedang waktunya pilpres dengan keadaan masyarakat yang terpolarisasi akan sangat mudah dan akhirnya akan muncul keributan, kerusuhan, atau keonaran di masyarakat," imbuh hakim.
"Menimbang bahwa majelis untuk dapat diterapkan pasal ini, keonaran tidak harus benar-benar terjadi seperti yang dibayangkan penasihat hukum. Akan tetapi sudah cukup apabila benih-benih keonaran telah tampak terjadi dan muncul di masyarakat," papar hakim.
(fdn/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini