Dalam proses sidang, Baiq Nuril dijerat jaksa dengan bukti CD yang disodorkan oleh pelaku, Haji Muslim. Padahal, dalam kasus UU ITE, setiap bukti harus dikuatkan dengan analisis digital forensic oleh ahli yang berkompeten.
"Transkripsi dan terjemahan audio berbahasa Sasak dari Kantor Bahasa Nusa Tenggara Barat Nomor 1485/G5.21/ KP/2016 tanggal 17 November 2016 yang ditandatangani oleh Dr Syarifuddin, MHum, a quo bersumber dari bukti digital elektronik yang tidak dijamin keutuhannya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan sebagai alat bukti surat yang sah, maka harus dikesampingkan," kata pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI), Jakarta, Anugerah Rizki Akbari, di Jakarta, Selasa (9/7/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Atas dasar itu, PN Mataram membebaskan Baiq Nuril. Nah, di tingkat kasasi, kekuatan alat bukti itu diabaikan. MA disebut hanya menilai Baiq Nuril merekam dan menyebarluaskannya.
"Tidak membahas isu ini dalam pemeriksaan kasasi," ujar Anugrah.
Fakta lainnya adalah majelis kasasi tidak menelisik kebenaran apakah Baiq Nuril yang menyebarkan rekaman percakapan tersebut. Sebab, Baiq Nuril tidak pernah menyebarkannya, melainkan hanya menyerahkan ke satu orang temannya. Bagaimana rekaman itu tersebar dan beredar, tidak terungkap secara jelas dan diulas oleh majelis kasasi/PK.
Namun nasi telah menjadi bubur. Putusan PK telah diketok. Satu-satunya cara menyelamatkan Baiq Nuril adalah dengan opsi pemberian amnesti oleh presiden.
"Amnesti dengan alasan perlindungan hak asasi manusia sebagai bentuk kepentingan negara Indonesia dalam pemberian amnesti kepada BNM (Baiq Nuril Makmun). Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, UU 7/1984 (CEDAW), UU 12/2005 (ICCPR), Pasal 45 UU 39/1999 (HAM) Komitmen Pemerintah untuk melindungi perempuan dan menekan angka kekerasan seksual," pungkas Anugrah.
Simak Juga 'Proses Hukum Baiq Nuril Jadi Pertimbangan Komisi III DPR':
(asp/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini