"Sebagai contoh, DPR RI saja ada 7.698 caleg, DPRD provinsi ada 28.912 caleg , dan DPRD kabupaten/kota ada 207.860 caleg. Bicara soal perselisihan, bukan hanya melibatkan antar partai politik, tapi juga bagaimana caleg di internal partai dibuka keran untuk mengajukan perselisihan hasil ke MK sebagai konsekuensi dari praktik sistem pemilu proporsional terbuka. Jadi tantangan kelembagaan untuk merespons beban besar yang mereka hadapi, kemungkinan bertambahnya jumlah perkara yang masuk, itu menjadi tantangan MK. Apalagi sekarang pemilunya berbarengan, pileg dan pilpres," kata Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraeni di Hotel Ibis Budget, Menteng, Jakarta Pusat, pada Jumat (17/5/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tantangan kelembagaan ini menyangkut infrastruktur, bagaimana MK menggerakkan infrastruktur yang ada di dalam lembaganya. Infrastruktur ini kan ada personel, orang-orang yang bekerja di dalam, lalu infrastruktur sistem, termasuk bagaimana mereka bisa mengelola perkara dengan sebaik mungkin. Dua itu yang dari sisi lembaga akan menjadi tantangan MK," ujar dia.
Selain tantangan internal, sambung Titi, MK juga menghadapi tantangan eksternal yaitu narasi ketidakpercayaan akan mekanisme hukum yang berkembang di masyarakat. Terlebih lagi, menurut Titi, polarisasi selepas pilpres belum juga usai.
"Tantangan terbesar saat ini adalah menghadapi situasi politik di mana tekanan dan polarisasi masyarakat begitu besar, dibuat makin panas dengan narasi-narasi membangun ketidakpercayaan pada mekanisme hukum," ujar dia.
Atas tantangan-tantangan itu, Titi berharap MK menjadi lembaga yang profesional dalam menangani sengketa pemilu. MK diminta jangan hanya menjadi lembaga kalkulator.
"Peserta Pemilu 2019 itu jumlahnya bertambah, tadi sudah saya sebutkan. Tantangan terbesar MK adalah bagaimana MK mampu mengelola persidangan perselisihan hasil pileg yang tidak hanya melibatkan parpol, tetapi juga perselisihan antar caleg, betul-betul MK ini bisa menjamin prosesnya, bukan hanya menjadi mahkamah kalkulator," ujar dia.
Menurut Titi, MK harus mampu memanfaatkan waktu yang cukup singkat dalam menangani laporan sengketa pemilu. MK harus menjadi lembaga yang dapat dipercaya publik.
"Bisa tidak MK dalam penyelesaian sengketa pileg yang hanya 30 hari, bisa menerapkan pemeriksaan yang maksimal dalam pembuktian, memeriksa bukti-bukti, fakta-fakta, saksi saksi. Karena calegnya banyak, permohonannya banyak, nanti akan didekati dengan pembatasan saksi, ujung-ujungnya pasti akan mengurangi kualitas pembuktian. Jadi tantangan pilpres justru di luar mahkamah konstitusi, di mana kepercayaan publik soal mekanisme hukum," imbuh dia.
"Jadi harapannya adalah MK bisa memastikan pemeriksaan penyelesaian perselisihan pileg bisa dilakukan secara profesional, berintegritas, memadai, untuk melakukan, proses pembuktian secara optimal, bukan hanya terjebak menjadi mahkamah kalkulator yang hanya mengurusi salah jumlah dan salah hitung," sambung dia. (knv/dkp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini