Hamdan Zoelva menyampaikan itu dalam dialog publik 'Tantangan MK dalam Menyelesaikan Sengketa Hasil Pemilu Serentak Tahun 2019 Berkaitan dengan Pelanggaran Terstruktur, Sistematis, dan Masif', di Ibis Budget Hotel, Jalan Cikini Raya, Menteng, Jakarta Pusat, pada Jumat (17/5/2019). Dia awalnya berbicara tentang sejarah masalah dalam pemilu Indonesia.
"Soal pemilu, sepanjang sejarah Orde Baru atau sepanjang pemilu Indonesia, belum ada pemilu itu benar-benar clear. Tahun 1955 banyak masalah, tahun Orde Baru apalagi soal kepemiluan, dari tahun 1971 sampai 1997," kata Hamdan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hamdan mengatakan Pemilu 1999 juga ada masalah. Parpol saling mengawasi dan hanya satu parpol yang sangat dominan. Karena saling mengawasi dan mengontrol, KPU tidak bisa mengambil keputusan hingga akhirnya deadlock.
Hamdan lalu berbicara tentang Pilpres 2004, yang kala itu dimenangi pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Gugatan ke MK juga ada pada waktu itu.
"2004 juga ada pilpres, saat itu SBY mendapatkan suara terbanyak, Megawati sebagai petahana gugat ke MK. 2009 juga demikian, termasuk Ibu Mega berpasangan dengan Prabowo, Pak SBY, dan Wiranto. Juga ada gugatan di MK," ujarnya.
Gugatan ke MK juga masuk pada saat Pilpres 2014. Hamdan menuturkan belum ada pemilu di Indonesia yang benar-benar clear.
"2014 juga sama, karena ada dua pasangan, masalah makin runcing dan tajam. Kalau banyak calon, masalahnya datar-datar saja. Jadi pemilu di Indonesia sejak awal bukan tanpa masalah. Itu perlu kita tahu bersama. Belum ada pemilu yang benar-benar clear. Kita pahami bersama," tuturnya.
"Kalau Pemilu 2019 benar-benar clear, itu luar biasa. Kalau ada masalah, ya masalahnya belum tuntas karena demokrasi kita belum benar-benar baik," ucapnya.
Hamdan menjelaskan ada tiga prasyarat agar demokrasi bisa tumbuh dengan baik. Pertama tingkat kecerdasan pemilihnya sudah bagus, kedua tingkat kesejahteraan, ketiga peraturan dan aparat penegak hukumnya sudah relatif bagus.
"Tiga syarat ini sekarang masih rendah. Di mana-mana pemilu di seluruh di dunia kalau nggak memenuhi prasyarat ini pasti ada masalah," ujarnya.
Dilanjutkannya, karena itulah dibuat institusi-institusi hukum sebagai langkah-langkah untuk memperbaiki dan meminimalisir sengketa. Lembaga peradilan merupakan koridor untuk menyelesaikan masalah pemilu itu.
"Karena itu, lembaga peradilan adalah koridor penyelesaian masalah pemilu. Koridor penyelesaian, masuk ke koridornya, itu fungsinya, baiknya marilah kita gunakan koridor ini. Tantangannya adalah lembaga pemutus ini bisa dipercaya atau tidak?" ujarnya.
Hamdan menuturkan menang-kalah dalam sengketa pemilu bukan soal banyak-banyakan bukti. Tapi buktinya relevan atau tidak.
"Mau bawa berapa puluh kontainer tapi kalau nggak relevan ya nggak dibaca," katanya.
Hamdan mengatakan sengketa pilpres kasusnya sederhana, tidak rumit. Tantangan paling berat bagi peradilan dalam sengketa pilpres adalah tekanan psikologis.
"Tekanan yang paling berat adalah tekanan psikologis dari kiri-kanan, ini tantangan yang paling berat dalam proses persidangan untuk pilpres," ujarnya.
Selain itu, kata Hamdan, selisih suara yang tinggi menjadi kesulitan pada pasangan calon yang mengajukan gugatan. Jika selisihnya lebih dari 10 juta, Hamdan mencontohkan, paslon harus membuktikan dalam gugatannya mampu mempengaruhi hasil.
"Kalau sengketanya hanya yang dipersoalkan hanya 2 juta suara, kan tidak mempengaruhi hasil. Saya kira itu MK akan mudah menyelesaikannya. Hanya sengketa yang mampengaruhi hasil yang bisa diajukan ke MK. Misalnya selisihnya 10 juta suara, yang bermasalah di 1.000 dapil, kalau yang gugat 2 juta, ya susah. Inilah problem yang dialami paslon kalau selisihnya besar. Dia harus bisa signifikansi permasalahan yang diajukan. Ini yang paling rumit," tuturnya.
(idh/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini