"Keonarannya nggak ada kok (disebut) relevan sih, bagaimana membuktikan ada keonaran?" ujar Ratna Sarumpaet setelah menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jl Ampera Raya, Kamis (25/4/2019).
Menurutnya, unsur keonaran harus terpenuhi, barulah Pasal 14 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1946 bisa relevan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Menurut saya gitu, lemah. Tapi karena saya bukan ahli hukum itu secara pribadi saja," sambungnya.
Saat ditanya ulang soal keonaran, Ratna kembali menegaskan hal tersebut tidak terjadi.
"Iya apa menurut kamu keonaran di mana, di mana yang gaduh siapa yang gaduh. Kalau di Twitter memang selalu gaduh kan, mana Twitter yang nggak pernah gaduh," katanya.
Ahli pidana Dr Metty Rahmawati Argo dalam persidangan menegaskan pasal soal penyebaran kebohongan yang menimbulkan keonaran pada Pasal 14 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1946 masih relevan. Sebab, belum ada keputusan yang mencabut atau membatalkan UU Itu.
Dr Metty menjelaskan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dikeluarkan saat masa pemerintahan Presiden Soekarno. Menurutnya, undang-undang tersebut dikeluarkan agar tidak ada keonaran yang diakibatkan demonstrasi, sebab saat itu pemerintahan baru terbentuk.
Dalam perkara ini, Ratna Sarumpaet didakwa membuat keonaran dengan menyebarkan kabar hoax penganiayaan. Ratna disebut sengaja membuat kegaduhan lewat cerita dan foto-foto wajah yang lebam dan bengkak yang disebut penganiayaan. Padahal kondisi wajah Ratna disebut jaksa karena operasi plastik. (fdn/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini