Awalnya jaksa menanyakan soal kegaduhan yang terjadi di media sosial bisa disebut keonaran. Wahyu menyebut hal itu juga tergolong sebuah keonaran.
"Ya (keonaran) medsos kan wakil dari lisan," kata Wahyu saat memberikan pendapat sebagai ahli yang dihadirkan pihak jaksa penuntut umum dalam sidang lanjutan Ratna Sarumpaet di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jl Ampera Raya, Kamis (25/4/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wahyu berpendapat keonaran tidak harus berbentuk kekerasan fisik. Keonaran di media sosial, sambungnya, bisa terjadi karena silang pendapat opini yang tajam.
"Bisa, dilihat perang kata-kata yang tajam di situ yang setuju dan tidak setuju. Misal ada persoalan ada yang memberi komen setuju dan komen tidak setuju," ujar Wahyu.
"Beda pendapat bentuk keonaran?" tanya pengacara Ratna.
"Iya, karena tidak ada ujungnya. Itu adalah ciri ciri dari media sosial. Muncul lagi muncul lagi," jawab Wahyu.
Selain itu, Wahyu menyebut media sosial memiliki potensi menjadi alat penyebaran berita bohong. Alasannya, tidak ada aturan seperti kode etik di media massa konvensional.
"Media sosial bukan pada bentuk pemberitaan yang sifatnya mainstream seperti TV. Media sosial itu misalnya Facebook, WhatsApp dan sejenis itu. Kalau kita bicara media massa mainstream tentunya tidak dilengkapi dengan maksud jurnalisnya itu apa, bukan melakukan apa," ujarnya.
Ratna Sarumpaet didakwa membuat keonaran lewat hoax penganiayaan. Ratna menyebarkan hoax kepada sejumlah orang lewat pesan WhatsApp, termasuk mengirimkan gambar wajah lebam dan bengkak yang diklaim akibat penganiayaan.
Padahal kondisi bengkak pada wajah Ratna merupakan efek operasi plastik di RS Bina Estetika, Menteng. Jaksa mengungkap Ratna memfoto dirinya saat menjalani perawatan medis, lalu menyebarkan foto ditambah keterangan soal terjadinya penganiayaan.
Simak Juga Video Jaksa Panggil 4 Saksi Ahli, Ratna: Pasti Memberatkan Saya (ibh/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini