"Jika ada pihak lain, termasuk BPN yang curiga itu terkait dengan Pilpres ya silakan saja laporkan kepada Bawaslu sebagai dugaan pelanggaran Pemilu. Tidak usah digoreng-goreng di ruang publik, tapi tidak membawanya ke saluran yang sudah disediakan oleh UU Pemilu," ujar Wakil Ketua TKN Jokowi-Ma'ruf, Arsul Sani kepada wartawan, Rabu (3/4/2019).
Sejauh ini KPK menyebut amplop-amplop itu digunakan Bowo untuk 'serangan fajar' dalam pemilu. Sebab, Bowo diketahui kembali mencalonkan diri sebagai anggota legislatif pada Pemilu 2019.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Arsul mengatakan, 'cap jempol' yang ditemukan dalam perkara Bowo tidak berkaitan dengan Pilpres, apalagi pada pasangan capres-cawapres nomor urut 01 yang diidentikan dengan salam jempolnya. Arsul menyerahkan sepenuhnya perkara Bowo kepada KPK.
"Kasus amplop bercap jempol adalah kasus Bowo Sidik Pangarso pribadi. Tidak ada urusannya dengan Pilpres. TKN menyerahkan soal itu kepada KPK selaku penegak hukum," ujar Arsul yang juga duduk sebagai Anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi PPP.
Terkait adanya 'cap jempol', KPK memastikan tidak ada nomor tertentu pada amplop-amplop itu. Namun BPN Prabowo-Sandi menilai, KPK seolah menutupi simbol Pilpres di kasus Bowo Sidik dan mengaitkannya kepada Jokowi selaku capres nomor urut 01.
"Publik pun tahu bahwa simbol jempol itu, bila dikaitkan dengan pilpres kita kali ini, arahnya ya ke capres 01. Banyak pendukung 01 kalau foto sekarang ini kan selalu pakai simbol jempol, ya. Sama dengan pendukung kami 02, sekarang ini kalau foto di mana-mana kan selalu pakai simbol 2 jari atau simbol 2 jari contreng akal sehat," kata juru bicara BPN, Jansen Sitindaon, kepada wartawan, Selasa (2/4).
Dalam perkara ini, Bowo sudah ditetapkan KPK sebagai tersangka karena diduga menerima suap dari Marketing Manager PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK) Asty Winasti lewat orang kepercayaannya bernama Indung. Ketiga orang itu telah ditetapkan menjadi tersangka.
Bowo diduga menerima suap untuk membantu PT HTK kembali mendapat perjanjian penggunaan kapal-kapalnya untuk distribusi pupuk dari PT Pupuk Indonesia Logistik (Pilog). Bowo pun meminta imbalan sebesar USD 2 per metrik ton.
Total ada 82 kardus dan 2 kontainer yang berisi 400 ribu amplop yang disita KPK. Dalam 400 ribu amplop itu, KPK menemukan uang pecahan Rp 20 ribu dan Rp 50 ribu. Namun sejauh ini yang baru dibongkar KPK adalah amplop-amplop di dalam 3 kardus yang totalnya Rp 246 juta.
Simak Juga "Cap Jempol di Amplop Serangan Fajar Bowo Sidik dan Bantahan TKN":
(dkp/fjp)