Berdasarkan keterangan dari situs Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dilansir detikcom, Selasa (19/3/2019), bahasa Komodo dituturkan di Desa Komodo, Pulau Komodo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi NTT. Bahasa Komodo juga dituturkan di Pulau Rinca dan Desa Warloka. Di Desa Komodo juga dituturkan bahasa Bima dan bahasa Bugis.
Bahasa Komodo termasuk rumpun Austronesia, namun perbedaannya jelas dengan bahasa-bahasa di sekitarnya. Artinya ini bukan sekadar dialek. "Berdasarkan penghitungan dialektometri, bahasa Komodo merupakan bahasa sendiri jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa di sekitarnya dengan persentase perbedaan di atas 81 persen, misalnya dengan bahasa Manggarai dan Bajo," demikian menurut Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam skala EGIDS (the Expanded Graded Intergenerational Disruption Scale), bahasa Komodo masuk kategori 6b, artinya pewarisan antargenerasi bahasa ini sedang dalam proses menuju kerusakan, namun generasi anak-anak masih bisa menggunakan bahasa ini, jadi bahasa golongan ini masih bisa direvitalisasi.
Namun, dalam peta bahasa yang diterbitkan SIL International, indikator bahasa Komodo sudah berwarna merah, yang artinya sudah terancam punah (endangered).
Penutur bahasa Komodo sendiri terbiasa hidup dengan menguasai banyak bahasa. Soalnya, mereka harus bisa berkomunikasi dengan orang-orang berbahasa lain yang lebih banyak jumlahnya. "Dalam interaksi bahasa ini, pihak suku Komodo yang mengalah. Artinya merekalah yang belajar menggunakan bahasa lain," tulis Margono dkk dalam buku 'Struktur Bahasa Komodo' terbitan Depdikbud tahun 1987.
Seno Gumira Ajidarma dalam tulisannya 'Masa Depan Manusia (Ko)-Modo' menjelaskan, orang Komodo selalu menjadi minoritas, yang menguasai bahasanya juga sedikit. Dia menilai orang Komodo punya bahasa, susastra lisan, dan kebudayaan spesifik. Maka kebudayaan Komodo secara sahih menjadi bagian perbendaharaan kebudayaan Indonesia yang wajib dilindungi.
![]() |
Dia menyoroti agar proyek memajukan turisme di Pulau Komodo juga harus memperhatikan kelestarian manusia di dalamnya, termasuk bahasa Komodo yang wajib dilindungi. Jangan sampai budaya orang Komodo punah.
"Jika kampanye pariwisata itu sukses besar, punahnya kebudayaan adalah harga yang terlalu mahal, bahkan tidak ternilai, sebagai bayaran," kata Seno dalam buku 'Jokowi, Sangkuni, Machiavelli'.
Baca berita lainnya mengenai Teras BRI Kapal Bahtera Seva di Ekspedisi Bahtera Seva.
(dnu/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini