Tim detikcom bersama Teras BRI Kapal Bahtera Seva II sandar di dua pulau yang dihuni suku asli tersebut, yakni Pulau Komodo dan Pulau Rinca.
Penampilan anggota Suku Komodo tak ubahnya kebanyakan warga Indonesia lainnya. Mereka hidup modern di pulau kecil ini. Pakaian, alat komunikasi, hingga pendidikan dasar, semua sama saja dengan yang dimiliki warga lain di luar pulau. Meski kini penampilan mereka tak terlalu berbeda dengan suku-suku lain di kawasan ini, namun konon Suku Komodo memiliki ciri spesifik pada zaman dulu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Menyambangi Pulau Rinca, Awas Nabrak Komodo! |
Ishaka adalah orang yang dituakan di desa ini, merupakan keturunan langsung Suku Komodo melalui garis bapak dan keturunan Bima dari garis ibu. Dia mampu berbahasa Komodo, Bima, Bajo, dan sedikit Bahasa Manggarai. Meskipun asli orang Komodo, namun ukuran telinga Ishaka nampak normal saja.
![]() |
Cerita soal Suku Komodo bertelinga lebar itu ternyata juga diakui oleh Suku Komodo yang hidup di Pulau Komodo. Saya menemui tokoh masyarakat di sini, yakni Haji Amin Bakar (64). Dia menceritakan Suku Komodo bertelinga lebar terakhir hidup saat dirinya masih kecil pada dekade 1960-an. Namun pria tersebut meninggal dunia tanpa mewariskan keturunan kandung. Amin masih ingat nama dia.
"Namanya Ompu Segenong, orang Komodo asli," kata Amin di rumah panggungnya, Rabu (27/3/2019). Ompu atau Umpu adalah sebutan masyarakat setempat untuk sesepuh.
Meski kini tak ada lagi orang Komodo bertelinga lebar, namun Amin menolak mentah-mentah anggapan bahwa Suku Komodo asli sudah punah. Suku komodo asli bukan hanya berasal dari Ompu Segenong saja, tapi banyak anggota Suku Komodo asli di masa lalu yang masih mengalirkan keturunannya sampai zaman ini.
![]() |
Baik Ishaka maupun Mansyur punya legenda yang serupa tapi tak sama tentang komodo. Cerita legenda itu mereka dapatkan dari mulut ke mulut secara turun temurun. Nilai yang terkandung dalam cerita itu sama, yakni manusia dan komodo adalah saudara kandung. Kadal purba itu tak boleh disakiti.
Ishaka di Pulau Rinca mengisahkan, zaman dahulu kala turunlah putri kayangan ke dunia. Sang putri bertemu seorang pria di dunia dan akhirnya mereka saling mencintai. Dari hubungan keduanya, sang putri melahirkan seorang manusia dan sebutir telur yang menetas menjadi Ora/Orah yang tak lain dan tak bukan adalah sebutan masyarakat setempat untuk hewan komodo.
Ora yang merupakan komodo betina ini tumbuh besar dan akhirnya lepas dari rumah. Saudara manusianya tak mengenali lagi bahwa dia punya saudari komodo. Bahkan saat berburu, si manusia hendak memanah si komodo. Namun ibundanya mencegah, "Jangan! Itu saudarimu!"
Amin di Pulau Komodo menyampaikan kegelisahannya, saat ini mitologi komodo banyak dibumbui dengan bunga-bunga yang tidak asli. Cerita bisa sangat bervariasi tergantung siapa yang bercerita. Namun berdasarkan cerita yang diwarisinya secara turun-temurun, mitologi komodo berawal dari sesepuh bernama Ompu Najo. Dia punya putri hamil sembilan bulan. Putri dari Ompu Najo bersalin dengan selamat, dari rahimnya lahir dua makhluk. Pertama, komodo betina yang disebut Sebai yang artinya 'sebelah' dalam bahasa setempat. Kedua, bayi laki-laki yang diberi nama Derum (dibaca: Drom).
![]() |
Ora (komodo) bagi masyarakat Komodo bakal dipanggil sebagai Sebai bila ora tersebut berpolah mengganggu. Mereka akan mengusir reptil itu dengan kata-kata, "Sebai! Laho diu! (Sebai! Pergi jauh!)" Komodo dipercaya bakal mengerti kata-kata itu dan akan menyingkir dari manusia.
Kini di Pulau Komodo maupun Rinca, kearifan itu tetap berusaha dijaga supaya manusia bisa terus hidup damai bersama alam. Pendatang dari luar pulau tetap diterima dengan baik dan bahkan melebur ke dalam masyarakat sini lewat kawin-mawin. Arus modernisasi juga mengubah pola hidup masyarakat, dari yang tadinya masyarakat berburu menjadi masyarakat nelayan, dari masyarakat nelayan menjadi masyarakat pariwisata.
Berburu rusa adalah kegiatan yang dulu sering dilakoni masyarakat Suku Komodo, meski kini sudah tidak dilakukan lantaran status kawasan ini masuk dalam Taman Nasional Komodo. Ishaka menjelaskan, aktivitas berburu masyarakat Komodo zaman dahulu bukanlah aktivitas yang merusak karena hanya mengambil seperlunya dari alam dengan peralatan yang sederhana.
Dulu, manusia masih menjadi satu dengan alam atau saudara kandung alam, bukan berstatus penakluk alam seperti era modern ini. Pada saat berburu rusa, masyarakat akan menyisihkan sebagian daging buruan untuk komodo. Tak ada cerita bahwa masyarakat yang berburu diserang komodo.
"Dulu kalau berburu, sebagian hasil buruan dikasih ke komodo. Dulu tidak terlintas rasa takut di hati bahwa saya akan digigit komodo, tidak pernah, karena dulu kita menyatu. Tapi kalau sekarang, hilang sudah, karena sudah tidak menyatu," kata Ishaka.
![]() |
Saya menemui generasi yang lebih muda di Pulau Komodo, yakni Jafar Ali (41). Sebagai orang asli Kampung Komodo yang tinggal di sini sejak lahir, Jafar menjamin kadal dengan air liur mematikan itu jarang masuk ke perkampungan. Paling banter, komodo hanya jalan-jalan sampai di tebing pinggir desa. Padahal tak ada pagar khusus sebagai penghalang agar komodo tidak masuk desa.
"Komodo jarang sekali masuk perkampungan, karena orang di sini menurut cerita kan punya ikatan dengan komodo, jadi mereka tidak mengganggu. Kalaupun ada komodo yang masuk rumah, itu pertanda baik. Misalnya, kalau orang rumah sedang sakit maka orang-orang tersebut akan segera sembuh. Tapi itu jarang sekali," kata Jafar.
Baca berita lainnya mengenai Teras BRI Kapal Bahtera Seva di Ekspedisi Bahtera Seva.
(dnu/mae)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini