"Kalau Jogja kan keistimewaan, kalau DKI kan daerah khusus tanpa DPRD kabupaten/kota, kalau Aceh kan otonomi khusus, Bali bukan otonomi khusus, keistimewaan, bukan daerah khusus. Bali adalah provinsi yang selama ini dibentuk dengan UU No 64/1958 pembentukan daerah tingkat I Bali, NTT, NTB sunda kecil. Dulu namanya Bali dan Nusra itu landasannya UUD Sementara 1950, UUDS 1950, sekarang UUD 1945," urai Koster usai rapat di DPRD Provinsi Bali, Jl Dr Kusuma Atmaja, Denpasar, Bali, Selasa (22/1/2019).
Dengan alasan tersebut, landasan hukum yang mengatur soal Bali dinilai sudah tak relevan. Sehingga butuh landasan hukum baru untuk mengatur Bali yang lebih holistik.
"Dulu sunda kecil negara bagian, ada perdana menteri, sekarang NKRI jadi dari segi konsiderannya memang sudah perlu diganti waktunya sudah 61 tahun. Kita masih menggunakan landasan yang lama," tuturnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menambahkan UU tentang Bali ini bakal digunakan sebagai payung hukum untuk membuat kebijakan terkait pengembangan Pulau Dewata.
"Supaya Bali bisa kita atur untuk dibangun berdasarkan potensi yang dimiliki berdasarkan masing-masing wilayah. Ini bisa dipayungi dalam rangka mengelola uu untuk menyeimbangkan wilayah satu dengan yang lain, sehingga lebih seimbang, merata, sesuai potensinya," paparnya.
Koster menyebut nantinya undang-undang ini tak hanya melindungi alam dan budaya Bali tapi juga dari sisi pengembangan sumber daya manusia. Di antaranya aturan terkait jam kerja, di mana warga lokal Bali merasa mengalami diskriminasi hingga soal kontribusi wisatawan.
"Banyak, itu sisi teknis, yang paling penting adalah ini agar kita bangun ke depan agar memfokuskan pelestarian alam, manusia dengan budayanya. Supaya bali ini bisa diproteksi, sehingga alamnya bisa dijaga dengan baik, manusianya harus dibangun, budayanya juga harus dibangun supaya betul-betul bisa terjaga sampai di masa depan," ujar Koster.
(ams/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini