"Ibu Merry mengatakan segala pertimbangan beliau. Dia katakan bahwa ada putusan perdata, maka terdakwa harus bebas. Kemudian kami berikan Pak Sontan (hakim anggota), Sontan bilang ini terbukti dengan segala pertimbangan beliau. Terus saya juga bilang kalau gini ini terbukti," ujar Wahyu saat menjadi saksi dalam persidangan dengan terdakwa Tamin di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (17/1/2019).
"Lalu saya bilang Bu Merry gimana? Saya ingatkan, Bu, ini perkara pidana, bukan perdata, kenapa orang yang nggak ada di struktur diberi kuasa, faktanya posisi dominan pemegang saham anak-anak terdakwa. Beliau katakan beliau tetap dengan pendirian," sambungnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wahyu mengaku menaruh rasa curiga terhadap putusan Merry yang mendesak agar Tamin bebas. Namun dia meminta Merry membuat pertimbangan alasan menyatakan bebas.
"Saya bilang oke, tapi Ibu buat dissenting opinion, dan ibu harus bertanggung jawab dengan putusan. Persoalan berapa hukumannya, saya yang pikirkan dengan Pak Sinton karena Ibu menilai bebas," jelas Wahyu.
"Putusan bebas Ibu Merry memang jadi pertanyaan buat saya, tapi saya nggak pertanyakan, karena takut menyinggung yang bersangkutan, dari pemahaman saya itu (putusan) nggak lazim," katanya.
Namun pada akhirnya Wahyu tetap memutuskan Tamin bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Tamin divonis 6 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 6 bulan, dengan uang pengganti Rp 120 miliar.
Dalam kasus ini, Tamin didakwa memberikan suap sebesar SGD 280 ribu atau sekitar Rp 2,9 miliar kepada hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan Merry Purba. Uang tersebut dimaksud untuk mempengaruhi putusan atas nama Tamin sendiri.
Sedangkan Merry sudah menjalani persidangan. Dia didakwa menerima SGD 150 ribu atau sekitar Rp 1,5 miliar yang berasal dari Tamin. (zap/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini