Tradisi Kalembak dulu dilakukan agar warga waspada tsunami dan air bah. Biasanya dilakukan saat musim angin barat di Agustus sampai November. Tapi, tradisi ini mati pada sekitar tahun 2000an. Coba dihidupkan lagi pada 2006-2007 tapi kemudian dilarang karena dinilai melenceng.
Berbeda dengan tradisi sedekah laut atau Nyadran. Kalembak lebih pada ritual pemberian pemahaman mitigasi bencana. Ada doa kemudian pesta makan agar warga berkumpul dan bercerita tentang Krakatau. Makanan yang disediakan juga lekat dengan simbolisasi gunung Krakatau.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi, Kalembak adalah tradisi yang sama sekali berbeda. Saat ritual ini dimulai, warga dikumpulkan untuk berdoa bersama dan bercengkrama. Setelah itu ada hiburan tradisional seperti wayang golek.
Makanan yang disediakan adalah Jejongkong dan Jejorong sebagai simbolisasi Krakatau. Jejongkong dibuat dari bahan dasar singkong dengan gula aren di dalamnya yang digambarkan sebagai magma. Sedangkan Jejongkong mirip makanan gunung yang dibungkus daun pisang.
"Tapi tradisi ini berhenti. Ada yang mengangkat kembali tradisi ini di Carita tapi kemudian berhenti kembali. Yang jadi masalah ritual ini kemudian tidak diisi pemberian pemahaman di balik ritual itu. Sehingga dianggap pemujaan laut dan kemudian ulama melarangnya," kata Yadi Ahyadi saat berbincang dengan detikcom, Serang, Banten, Jumat (4/1/2019).
Kalembak dalam bahasa Sunda pesisir terdiri dari suku kata 'kelem ku ombak' atau tenggelam oleh ombak tsunami. Kata ini digunakan untuk membedakan bahasa tenggelam di sungai atau Kaleap.
Sebelum hilang, warga yang akan melaksanakan ritual Kalembak mulanya bertanya pada seorang Juru Baya. Orang ini adalah penjaga lautan yang mengetahui kapan nelayan harus melaut dan mulai muncul musim angin barat. Ia mengetahui kapan waktu berbahaya bagi nelayan agar tak turun ke laut mencari ikan.
Fungsi Juru Baya inilah, kata Yadi yang sekarang mirip dengan fungsi BMKG saat mitigasi bencana masuk masa modern. Juru Baya akan memberi peringatan musim untuk nelayan tak melaut dan mencari penghidupan di dataran tinggi.
"Informasi Juru Baya sudah ada sejak jaman kesultanan (Banten), setelah kelahiran Anak Krakatau, Juru Baya semakin sedikit," ujarnya.
Menghilangnya tradisi ini, kata Yadi, diakibatkan oleh hilangnya substansi nilai yang ada di ritual Kalembak. Orang menganggapnya hanya sebagai pesta dan hiburan. Padahal, ritual ini awalnya digunakan sebagai mitigasi bencana agar warga ingat Krakatau pernah mengamuk dan menimbulkan tsunami.
"Ini dilupakan. Padahal meninggalkan tradisi menghancurkan negeri. Masyarakat terdahulu melakukannya berdasarkan pengalaman leluhurnya, tradisi ini dilakukan sebagai mitigasi bencana tahap awal menghindari korban lebih banyak," pungkasnya.
Simak juga video 'BMKG Pasang Alat Pendeteksi Tsunami di Pulau Sebesi':
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini