"KPAI mengapresiasi Mahkamah Konstitusi yang telah mengabulkan untuk mengubah batas usia perkawinan bagi perempuan, yaitu 16 tahun. Mahkamah Konstitusi memerintahkan pemerintah dan DPR dalam waktu 3 tahun untuk mengubah batas usia perkawinan ini. Hal ini menunjukkan keseriusan negara dalam menghapus perkawinan usia anak," kata Ketua KPAI Susanto dalam keterangannya, Kamis (13/12/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Padahal dalam UU Perlindungan Anak, 'usia anak' adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan," ungkapnya.
Ia menambahkan perkawinan usia anak diperkirakan akan menjadi salah satu masalah yang berdampak jangka panjang bagi sumber daya manusia Indonesia di masa mendatang. Tahun 2015 menunjukkan bahwa 23 persen perempuan berusia 20-24 tahun melakukan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun.
"Umumnya anak yang menikah usia anak, pendidikannya rendah, bahkan putus sekolah. Hal ini rentan menyebabkan dampak jangka panjang bagi keluarganya dan berpotensi menyebabkan kemiskinan yang berulang," ungkapnya.
Selain itu, pernikahan dini dinilai dapat berpotensi meningkatkan jumlah angka kematian ibu dan balita. Selain itu, perkawinan anak berdampak pada kualitas keluarga, padahal mereka akan mengasuh anak di kemudian hari.
Oleh sebab itu, ia menyambut baik putusan MK tersebut. Sebab, diharapkan akan meningkatkan indeks kualitas SDM Indonesia dan meningkatnya kesempatan perempuan menempuh pendidikan 12 tahun.
"Maka, putusan MK merupakan langkah positif untuk meningkatkan indeks sumber daya manusia Indonesia ke depan, karena putusan tersebut akan memberikan ruang bagi perempuan menempuh pendidikan 12 tahun, meningkatkan skill dan akan semakin matang baik aspek biologis maupun psikis," tutupnya.
Sebelumnya MK mengabulkan sebagian permohonan atas gugatan UU Perkawinan khusus Pasal 7 ayat (1) yang berisi batas usia minimal perempuan nikah 16 tahun. MK kemudian memerintahkan DPR untuk merevisinya paling lama 3 tahun. (yld/rvk)











































