MK menegaskan penentuan batas usia minimal perkawinan merupakan kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang atau lembaga DPR. Lantaran batas usia pernikahan itu merupakan aturan yang bisa berubah sesuai perkembangan hukum dalam masyarakat. Jadi DPR dapat mengkaji ulang jika nantinya ada perubahan dalam perkembangan hukum.
"Apabila Mahkamah memutuskan batas minimal usia perkawinan, hal tersebut justru akan menutup ruang bagi pembentuk undang-undang di kemudian hari untuk mempertimbangkan lebih fleksibel batas usia minimal perkawinan sesuai dengan perkembangan hukum dan perkembangan masyarakat," ucap Ketua MK saat membacakan putusan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakpus, Kamis (13/12/2018).
Baca juga: MK: Indonesia Darurat Perkawinan Anak |
Untuk itu MK memberikan waktu selambat lambatnya tiga tahun untuk melakukan perubahan kebijakan terkait batas minimal perkawinan. Khususnya sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No.1 tahun 1974 yang bertuliskan batas usia pernikahan perempuan yaitu 16 tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"(tiga tahun) Itu pertimbangan hakim, tapi 3 tahun itu angka moderat (tidak terlalu lama, tidak terlalu cepat). Itu paling lama. Kalau tidak ada perubahan setelah 3 tahun, usia perkawinan harus diharmonisasikan dengan usia anak dalam UU perlindungan anak, disamakan antara perempuan dan laki-laki 18 tahun," katanya.
Sebelumnya, Maryanti (30) dan Rasminah (28) menggugat UU tersebut. Adapun perkara yang digugat para pemohon adalah permohonan judicial review Pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan mengenai batas usia perkawinan laki-laki dan perempuan.
UU Perkawinan pasal 7 menyebutkan batas usia menikah laki-laki adalah 19 tahun dan perempuan berusia 16 tahun. Para pemohon berharap batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan sama, yakni usai 19 tahun. (eva/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini