Salah satu kasus yang disinggung yaitu penangkapan 11 orang di Pantai Matahari Terbit Sanur yang menarik retribusi tanpa adanya MoU dengan PD Parkir Denpasar hingga kasus teranyar di penarikan tiket masuk di obyek wisata Tirta Empul, Gianyar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di desa adat ada pararem sebagai bagian dari awig-awig, kalau dihukum positif awig-awig adalah undang-undangnya dan pararem adalah turunan hukumnya seperti perda, perpu. Kemudian juga pemahaman yang tidak nyambung Perda Provinsi Bali nomor 3 yang sudah direvisi 2003 pasal 10, sumber-sumber di desa pakraman jelas cuma pendapatan yang jadi masalah dari pemberian pihak ketiga yang tidak mengikat dan yang keempat pungutan lain yang sah. Kalau soal pungutan sudah ada putusan awig-awignya yang dituangkan dalam pararem dibuatkan surat keputusan dari bendesa untuk pelaksanaannya, pemahaman inilah yang kadang-kadang tidak dipahami secara utuh," kata Jro Putus di Gedung DPRD Bali, Jl Dr Kusuma Atmaja, Denpasar, Bali, Selasa (13/11/2018).
"Saya curiga apa tidak ada mengkerdilkan desa adat dengan memberikan keterangan mengatasnamakan desa adat di media? Sebagai penanggungjawab desa pakraman di Bali, orang tua desa adat di Bali saya wajib mempertanyakan itu. Oleh karena itu dalam pertemuan ini adalah kesempatan tepat untuk bisa memahami dan mencari solusi aspek legalitas dalam pungutan yang dilakukan desa ada," sambungnya.
Jro Putus mengatakan selama ini pemberitaan soal penangkapan pecalang atau masyarakat adat yang terlibat pungli telah meresahkan masyarakat adat. Sebab, pemungutan atau retribusi yang dilakukan petugas adat telah dilindungi hukum adat dan merupakan kewenangan adat.
"Penangkapan itu telah membuat resah masyarakat adat di Bali resah dan gelisah semua kami masih redam-redam mereka karena keputusan itu dibuat dalam Pasamuwan Agung Masyarakat Desa Adat. Bendesa hanya melaksanakan awig-awig dan paraem, bukan bendesa yang membuat aturan," tegasnya.
Jro Putus kemudian mencontohkan dana yang dihabiskan masyarakat Bali untuk sembahyang, misalnya saja untuk membeli canang hingga upacara lainnya. Dia meminta agar aturan yang ada di desa adat dipatuhi dan tidak diganggu gugat.
"Cobalah kaji berapa biaya masyarakat adat dalam setahun untuk membiayai adat masyarakat Bali untuk budaya Bali. Salah satu contoh saya mengadakan penelitian secara sembunyi-sembunyi atau juga melihat dari sejuta krama adat yang tinggal di Bali, beli canangsari Rp 10 ribu sehari kalikan sejuta beli canangsari saja sudah Rp 10 miliar kalikan saja setahun. Belum lagi upacara purnama, ngaben, tilem, berapa biaya yang dikeluarkan. Kalau PAD-nya Bali jelas kurang, kalau bener menjaga ikon budaya adat di Bali tolong diperhatikan ini, jangan sampai Rp 1-2 juta dipermasalahkan," urainya.
"Malu kalau desa pakraman kami diobok-obok. Olek karen aitu mohonlah di dalam kepres dan tugas polisi bagaimana pendekatan persuassif kalau ada ini. Bendesa tolong ini salah demi nama baik, jangan ujug-ujug ditangkap," harap Jro Putus.
Hal senada juga disampaikan Jro Bendesa Adat Kutuh Badung, I Made Wena yang mengutip soal perlindungan desa adat diatur dalam UUD pasal 18b ayat 2 yang menyatakan negara mengakui serta menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan prinsip NKRI. Menyinggung kasus penangkapan 11 orang yang melakukan retribusi di Pantai Sanur, Made Wena keberatan jika desa adat juga menjadi obyek dari tim saber pungli.
"Apa lembaga yang disampaikan di pantai matahari terbit saya nggak tahu persis juga, andaikata jalan masuk ke matahari terbit adalah lahan desa Pura Sanur Kaja milik masyarakat adat secara sertifikat. Apakah masyarakat adat, apakah dudukan kalau yang dibahasa Indonesiakan jadi pungutan itu apa salah? Memungut sesuatu yang melintasi tanah miliknya sendiri masalah norma lainnya tunggu dulu. Kalau nanti terjadi sesuatu di masyarakat adat mohon pihak kepolisian jangan membuat statement kriminalisasi masyarakat adat bahwa yang melakukan itu oknum-oknum tertentu sehingga yang kena bendesa," harapnya.
Dia berharap pihak kepolisian bersama anggota Dewan bisa menengahi dan memberikan solusi. Sebab, mereka merasa tak melakukan kesalahan karena menjalankan aturan yang berlaku di desa adat.
"Pemahaman yang perlu disamakan apakah pungli yang seperti apa? Kalau ada hal-hal yang kurang terhadap hukum adat itu, aturan tertulis dan tidak tertulis, tertulis di selembar kertas itu juga harus dihargai ketimbang tidak ditulis pak. Ini keputusan pararem desa, tolonglah hormati. Kalau dianggap kurang mari kita perbaiki jadi selembar kertas ini jadi banyak lembar ini salah satu wujud pembangunan masyarakat bisa membangun masyarakat ini," ujarnya.
Saksikan juga video 'Dari PKL Hingga Juru Parkir Terjaring Operasi Tertib Trotoar':
(rvk/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini