"Ada problem regulasi, kalau kita bandingkan regulasi soal money politik antara UU 7 tentang Pemilu dan UU 10 tentang pilkada, lebih progresif UU 10 tahun 2016, Pilkada itu," ujar Ketua Bawaslu, Abhan, dalam diskusi 'Antisipasi dan Penindakan Politik Uang dalam Pemilu 2019' di Kantor Bawaslu, Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (8/10/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di Undang-Undang Pilkada, pemberi dan penerima uang sama-sama bisa dihukum. Apapun, ini bisa warning untuk publik, masyarakat juga hati-hati. Karena sama-sama bisa dihukum. Tetapi di UU 7 tidak. Yang hanya bisa dikenakan pidana, kalau money politic terjadi hanya pemberinya, penerima tidak," kata Abhan.
Selain itu Abhan juga mengatakan, perbedaan juga terdapat pada subjek pelaku money politik. Dalam UU Pilkada, subjeknya adalah siapa saja yang melakukan, sehingga hal ini dianggap dapat mempermudah penegakan sanksi.
"Terkait dengan Subjek pelaku tindak pidana money politics. Di UU Pilkada subjeknya lebih mudah yaitu setiap orang, siapapun yang melakukan money politics, siapapun yang memberi, itu bisa dijerat," ujar Abhan.
"Karena dalam praktik lapangan, bukan tim kampanye yang beraksi, kampanye bisa siapa saja yang melakukan. Memang dia tidak masuk kampanye, tapi secara subtansinya dia punya kepentingan," sambungnya.
Sedangkan dalam UU Pemilu, subjek pelaku politik uang dibedakan menjadi tiga fase, sesuai tahapan kampanye. Menurutnya, dalam UU ini seluruh pelaku baru dapat dikenakan sanksi bila politik uang terjadi pada saat pemungutan suara.
"Di UU 7 money politics dibedakan 3 fase, pertama kampanye yaitu unsurnya adalah segi pelaksana kampanye, itu ketika di masa kampanye. Fase kedua ketika masa tenang, unsur subjeknya sama yaitu tim dan pelaksana kampanye. Ketiga adalah hari pemungutan, unsurnya yaitu subjeknya semua orang, ini yang baru bisa mudah dijerat. Itu saya kira problem regulasi kita," tuturnya.
Saksikan juga video 'Zaman Now, Money Politic Tak Lagi Ampuh':
(dwia/nkn)