"Bawaslu turut campur seperti itu keadaan jadi kacau. Yang dulu (partai politik) sudah taat tidak mengajukan calon (mantan koruptor), sekarang karena Bawaslu membolehkan, mereka meminta dibuatkan daftar baru lagi kan. Jadi kacau masalahnya," ucap Mahfud di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (6/9/2018).
"Masalahnya yang sekarang disebabkan oleh intervensi Bawaslu dalam penafsiran hukum. Sebenarnya memang masalah semua itu kan undang-undang menyatakan boleh (eks koruptor nyaleg). Lalu KPU nyatakan tidak boleh. Dan lalu ketika KPU tidak membolehkan itu, lalu diundangkan oleh Kemenkum HAM kan, berarti yang dibolehkan KPU itu sudah sah. Harus berlaku. Untuk membatalkan apa yang diputuskan KPU itu hanya MA yang bisa, bukan Bawaslu," sambung Mahfud.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena itu menurut saya, yang keputusan Bawaslu itu harus diabaikan. Kita nunggu putusan MA terhadap judicial review, karena PKPU itu sudah sah diundangkan, dan sesuatu yang sah diundangkan itu mengikat kecuali dicabut oleh MA," kata Mahfud.
Pada Rabu, 5 September kemarin, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah melakukan pertemuan dengan KPU dan Bawaslu membahas hal tersebut. Hasilnya ada dua opsi yang nantinya dapat dijadikan jalan penyelesaian.
Opsi pertama adalah mendorong MA segera memutus sengketa tersebut. Sedangkan opsi kedua yaitu KPU dan Bawaslu kembali melakukan pendekatan kepada parpol karena sebelumnya parpol telah menandatangani pakta integritas untuk tidak mencalonkan eks napi korupsi. (idn/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini