Begini Kejamnya Penjajah Jepang ke Romusa: Baju Goni dan Cambuk

Derita Romusa (1)

Begini Kejamnya Penjajah Jepang ke Romusa: Baju Goni dan Cambuk

Chaidir Anwar Tanjung - detikNews
Kamis, 16 Agu 2018 15:42 WIB
Foto: Anak Romusa Tri Modjo (chaidir/detikcom)
Pekanbaru - Tri Modjo adalah salah satu mantan romusa asal Jawa yang dipekerjakan Jepang di Pekanbaru tahun 1942 silam. Derita hidupnya selalu dia ceritakan ke anak-anaknya. Salah satu anaknya Mislam Bianto (62).

Dia adalah, anak kedua dari lima bersaudara dari Tri Modjo dengan Ponikem. Ayah kandungnya Tri merupakan satu di antara ribuan pekerja romusa. Jepang dalam mempekerjakan pembangunan rel dikenal kejam, biadab dan tak manusiawi.

Mislam, salah satu keturunan para pekerja romusa yang masih bisa dilacak keberadaannya di Pekanbaru. Dia tinggal di rumah sederhana di Jalan Lokomotif, Tanjung Rhu, Limapuluh, Kota Pekanbaru.

Mislam, merupakan satu-satunya anak laki-laki dari Tri Modjo. Kisah pedih sang ayah saat bekerja romusa sering diceritakan padanya untuk pengantar tidur malam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau mau tidur jika ada waktu luang, bapak saya cerita bagaimana sakitnya dia hidup sebagai romusa. Tapi dia tak pernah meneteskan air matanya. Dia begitu tegar, tabah dan kuat menghadapi pekerjaan membangun rel kereta api di tahun 1942 silam," kata Mislam dalam perbincangan dengan detikcom, Kamis (16/8/2018).

Tri Modjo berasal dari Desa Purworejo di Jawa Tengah, dibawa Jepang ke Riau. Mereka diboyong untuk membangun rel dari Pekanbaru, ke Kampar, Kuansing hingga ke Sijunjung, Sumatera Barat. Bangunan rel itu sepanjang 220 Km yang harus diselesaikan dalam setahun.

Tri Modjo dibawa Jepang saat itu statusnya baru saja menikah. Dia bersama teman-teman sebayanya dibawa dengan kepal oleh Jepang. Kapal itu setelah melintasi Selat Malaka, masuk ke sungai Siak dan bersandar di Pekanbaru.

"Begitu sampai, ratusan para calon pekerja saat itu langsung dipisah. Ada yang di bawa ke Kab Kampar, ada yang dibawa ke Logas (Kuansing) ada yang dibawa hingga ke Sumatera Barat. Bapak saya kebagian kerja di Pekanbaru," kata Mislam.

Tak ada istilah rehat sejenak karena letih di atas kapal. Sampai di Pekanbaru, Tri Modjo cs langsung digiring tentara Jepang untuk membangun rel di kota Pekanbaru.

"Mereka langsung dapat pakaian jatah dari goni karung yang diberikan tentara Jepang. Langsung dipaksa kerja meratakan tanah-tanah perbukitan di Pekanbaru," kata Mislam mengisahkan kenangan pahit sang ayah.

Dalam menceritakan ini, Mislam tampak santai. Dia duduk bersama detikcom dan Raden Heru dari Pengadministrasian dan Analisis Kemitraan Media, Dinas Pariwisata Riau.

Duduk santai di kursi panjang di samping rumahnya. Sesekali cucunya bermanja dengannya sembari Mislam tetap fokus menceritakan kenangan pedih sang ayahnya.

Kembali soal romusa tadi. Pakaian terbuat dari goni merupakan pakaian keseharian selama bekerja di bawah tekanan tentara Jepang.

"Kalau ada waktu istirahat sebentar, bapak saya ambil botol. Terus pakaian goni dibuka. Botol tadi digunakan untuk menggilas kutu-kutu yang ada di goni tadi," kata Mislam.

Tri Modjo selama bekerja membangun rel boleh dikatakan jarang beristirahat. Karena bila ketahuan sering istirahat, maka cambuk dari tentara Jepang akan mendarat di tubuh para pekerja.

Tak hanya itu, mereka pekerja juga jarang dikasi makan. Kalaupun ada, hanya ala kadarnya. Makanan yang diberika tak cukup untuk asopan tubuh yang bekerja berat memanggul batalan rel dan besi-besi rel kereta api.

Belum lagi membangun jembatan rel kereta api. Tak kenal siang, malam atau hujan dan teriknya mata hari. Mereka harus bekerja di bawah ancaman senapan mesin Jepang.

"Di punggung, lengannya, kedua kaki bapak saya banyak bekas cambukan dari tentara Jepang. Kakinya kapalan sangat tebal, karena tiga tahun lamanya bekerja kaki ayam," kenang Mislam.

Derita baru berakhir, ketika Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan 17 Agutus 1945, oleh Sukarno dan Hatta. Kabar kemerdekaan sampai ke Pekanbaru. Jepang takluk dengan sekutu.

"Tahun 1945, bapak saya pulang ke kampung halamannya lagi. Saat itu ada kapal yang membawa pulang para pekerja romusa," kata Mislam.

Status orang tuanya yang awalnya sudah menikah, ternyata harus berpisah. Ini karena selama tiga tahun lebih Tri Modjo bekerja di Pekanbaru.

"Bapak saya akhirnya menikah kembali dengan adik dari istri pertamanya. Bapak saya kembali ke Pekanbaru lagi," kata Mislam.

Tri Modjo akhirnya meninggal pada tahun 1973 lalu dengan meninggalkan lima orang anak. Di perkirakan usia Tri Modjo meninggal sekitar 70 tahunan.

"Bapak saya tak tau kapan dia lahirnya. Jadi perkiraan usianya meninggal ya sekitar segitulah (70 tahun)," kata Mislam.

Rumah yang ditempati Mislam berada di jalan Lokomotif. Di beri nama lokomatif, karena dulunya jalan itu adalah jalur kereta api. Di jalan itu juga, dulunya sang ayah bertaruh nyawa bersama rekan sepekerja romusa.



Tonton juga video: 'Drama Pengusiran Penjajah di Tugu Pahlawan'

[Gambas:Video 20detik]

(cha/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads