Bukan salah FS, FR, YF dan FH menjemput ajal itu. Mereka hanyalah korban dari kebiadaban dan doktrin kedua orang tuanya, Dita Oepriarto dan Puji Kuswati. Keempatnya ikut dalam aksi bom bunuh diri di 3 gereja di Surabaya pada Minggu (13/5).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara sang ayah, Dita, melakukan bom bunuh diri di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), Minggu (13/5).Peristiwa di tiga gereja itu menyebabkan 18 orang tewas dan 43 orang mengalami luka-luka.
Sebelum melakukan aksi yang dikecam tersebut, keempat anak itu saling menangis bersama. Mereka melakukan salat di musala lalu menangis.
"Ada keterangan Pak RT yang mengatakan satu hari sebelum kejadian, malam minggu (Sabtu, 12 Mei 2018), dua anak itu salat di musala dan saling tangis-tangisan," kata Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto, di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (18/5/2018).
Setyo menduga kemungkinan tangisan anak-anak Dita dan Puji pecah karena mereka tahu, pada Minggu (13/5) pagi, akan mengakhiri hidupnya dengan melakukan serangan bom.
"Ada apa itu? Kemungkinan besar mereka sadar akan melakukan amaliyah," ujar Setyo.
Betapa tidak mengenaskan, anak-anak Dita itu disabuki bom namun tidak mendapat hak untuk meraih pendidikan yang layak. Mereka didooktrin hingga akhirnya ikut dalam aksi bom bunuh diri.
"Homeschooling kalau ditanya. Padahal nggak," kata Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur, Irjen Machfud Arifin, dalam jumpa pers di Markas Polda Jawa Timur, Jl Frontage Ahmad Yani, Surabaya, Selasa (15/5/2018).
Anak-anak korban paham radikal orang tuanya itu tidak diberi pendidikan yang layak, melainkan hanya diberi indoktrinasi oleh orang tuanya.
"Ya hanya bapak-ibunya yang memberikan doktrin terus, dengan video-videonya, dengan ajaran-ajaran yang diberikan," ujar Machfud.
Video 20Detik: Mengupas Rangkaian Teror Bom di Tanah Air
[Gambas:Video 20detik]
(nkn/nkn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini