"Putusan PN Meulaboh, Aceh, dengan skema keluar dari pakem hukum. Situasi ini menggambarkan terjadinya anarkisme hukum," kata ahli hukum Dr Fickar Hadjar kepada detikcom, Senin (7/5/2018).
Pascareformasi, berkembang tafsir yang luas atas prinsip 'kemandirian kekuasaan kehakiman'. Hakim dalam memutus perkara tidak lagi bergantung pada hukum dan pakem-pakemnya, tapi juga atas nama terobosan menafsir kewenangan yang berbasis kemandirian kekuasaan kehakiman, yang justru melebihi kewenangannya dengan membatalkan atau menyatakan putusan MA tidak dapat dilaksanakan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika terobosan yang dilakukan hakim masih dalam koridor penemuan hukum (rechtfinding) akan sangat positif bagi perkembangan hukum acara. Namun, jika terobosan itu dilakukan secara nekat, bahkan sudah melampaui kewenangan, inilah yang disebut anarkisme hukum.
"Menegakkan hukum dengan cara melawan hukum," cetus Fickar.
Mencermati kasus PT Kallista Alam, Fickar pada kesimpulan putusan PN Meulaboh merupakan putusan yang di luar kewajaran.
"Putusan PN tidak bisa dan tidak boleh membatalkan putusan yang lebih tinggi secara langsung deklaratif, melainkan harus melalui putusan perkara tersendiri," pungkas Fickar.
Sebagaimana diketahui, MA menghukum PT Kallista Alam membayar ganti rugi materi sekitar Rp 114 miliar kepada negara dan harus membayar dana pemulihan lahan sekitar Rp 251 miliar hingga putusan berkekuatan hukum tetap.
Namun, pada April 2018, PN Meulaboh menyatakan eksekusi putusan tahun 2014 tak dapat dilaksanakan sampai ada putusan terhadap gugatan baru. Dalam sidang gugatan yang dilayangkan PT Kallista Alam, majelis menerima gugatan PT Kallista Alam dan menyatakan denda Rp 366 miliar PT Kallista Alam tak dapat dieksekusi. (asp/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini