Derita di Kanal Gambut Neraka dan Jalur Kayu Kalimantan

Derita di Kanal Gambut Neraka dan Jalur Kayu Kalimantan

Aryo Bhawono - detikNews
Kamis, 03 Mei 2018 10:13 WIB
Aktivis Greenpeace bersama sejumlah relawan membentangkan spanduk kampanye mencegah terjadinya kebakaran hutan di lahan gambut di Desa Paduran, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Desember 2017. (Foto: Dok. Greenpeace)
Jakarta -

Setiap orang tak dapat menghindari terik matahari ketika tiba di Saluran Primer Induk Blok A bekas pembukaan lahan gambut (PLG) satu juta hektar pada masa Orde Baru. Sejauh mata memandang tak ada satu tumbuhan-pun yang dapat menjadi tempat bernaung. Dengung nyamuk tak berhenti sepanjang perahu melaju di saluran itu.

Itulah siksa yang dirasakan ketika tiba di Saluran Induk Primer Utama Blok A PLG di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Pegawai BRG, Andrian Gannery, tak dapat menghindari siksa di jantung Kalimantan ini. Kanal ini merupakan jaringan kanal terbesar untuk memeras air di lahan gambut untuk membuka lahan pada 1995.

"Berlindung kemana-pun tak bisa. Tumbuhannya hanya setinggi alang-alang. Inilah yang disebut kanal neraka," ucap Andrian berbagi cerita kepada detik.com beberapa peserta Jambore Masyarakat Gambut, 30 April lalu.

Kanal neraka adalah istilah yang diberikan oleh wartawan majalah Nature, Peter Aldhous, ketika meliput ke tempat itu pada 2004. Hasil peliputannya dimuat dalam majalah tersebut, 11 Desember 2004.

"Tempat ini seperti gurun setelah kiamat. Daerah ini tadinya adalah daerah rawa yang subur, terbaring tak terganggu selama bertahun-tahun. Tetapi Soeharto mengubahnya," tulis Aldhous.

Saluran induk primer utama ini menjadi kanal terbesar dari jaringan kanal yang dipakai untuk mengalirkan air dari gundukan gambut antara Sungai Kapuas dan Sungai Barito. PLG satu juta hektar ingin mengeringkan tempat ini dan menjadikannya sawah gambut tapi gagal.

Kanal neraka merupakan daerah yang tak terjamah dalam beberapa kali kebakaran hutan. Api yang berkecamuk semakin liar di atas dan di bawah gambut kering. Air di sungai besar, Barito dan Kapuas, tak dapat diandalkan karena lokasinya jauh.

Andrian mengungkapkan jaringan kanal ini akan terus menjadi biang kebakaran hutan bila tak diuruk. Badan Restorasi Gambut (BRG) sudah melakukannya di 100 titik di Blok A. Namun penolakan terjadi di sebuah saluran induk primer pembantu oleh sebagian orang.

Mereka tak menjelaskan alasannya secara rinci. Beberapa menyebutkan karena alasan banjir walaupun pengurukan dapat diatur dengan menggunakan bendungan buatan. Satu ketika saat bertandang Andrian dan tim-nya menjumpai tongkang yang menyeret iring-iringan kayu sepanjang 1 kilometer.

Entah darimana kayu itu berasal hanya saja lika-likunya paling tidak sempat melalui bagian kanal neraka. Seorang pekerja yang berada di atas iringan kayu sempat berteriak kepada rombongan Andrian agar tak merekam iringan kayu itu.

"Ilegal atau legal saya tidak tahu, tapi itu kayu utuh dan disusun hingga panjangnya satu kilometer. Bisa dibayangkan kenapa mereka tak mau kanal ini diuruk," jelasnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagi Andrian, iring-iringan kayu itu menjelaskan darimana beratnya siksa di kanal neraka. Tanah yang tadinya subur tak terjamah kini sudah terbabat habis. Apakah tanah ini tadinya subur lalu kemudian dibabat habis, kata dia, sisanya pun ikut dibabat juga.

(ayo/jat)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads