Frista yang hanya bisa berbahasa Pustun Afghanistan ini menyebut suaminya ada di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Manado. Namun, setelah dicek, Frista tak memiliki dokumen keimigrasian.
"Wanita ini mengaku sebagai pencari suaka dan ingin menjadi pengungsi mengikuti suaminya, bernama Muhammad Yasin Haedari, yang sudah dua tahun tinggal di Rudenim Manado," kata Kepala Subseksi Penindakan Keimigrasian Kanim Manado Hendrik Rompis melalui Kadiv Humas Keimigrasian Dodi Kardina, Senin (26/3/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan informasi yang dihimpun detikcom, Frista berangkat dari Afghanistan pada awal Maret lalu. Sebelum tiba di Manado, perempuan ini sempat melewati India dan Kuala Lumpur, Malaysia. Setelah itu, dia sempat singgah di Jakarta.
"Di Jakarta, ia tinggal 7 hari," kata Dodi.
Frista berada di Jakarta selama seminggu. Kemudian dia pergi ke Manado. Kepada petugas, Frista mengaku mau bertemu suaminya untuk sama-sama mencari suaka.
Penyelidikan petugas imigrasi, Frista diketahui pernah tinggal di Rudenim Makassar dua tahun lalu.
Imigrasi Indonesia pun tak begitu saja percaya dengan keterangan Frista, termasuk mengeluarkan dokumen keimigrasian untuk Frista. Sebab, bisa saja pihak Afghanistan membantahnya. Kini Frista dan anaknya dititipkan di Jesuit Refugess Services (JRS).
"Belum tentu Kedutaan Afghanistan mengakui mereka sebagai warga negaranya," ucap Dodi.
![]() |
"Kalau mengaku pengungsi, kok punya uang buat beli tiket pesawat? Uang dari mana? Memangnya penerbangan seperti itu nggak pakai paspor? Ini kok ngakunya tidak punya paspor," kata Agung Sampurno saat berbincang dengan detikcom, Senin (26/3).
Kasus seperti ini bukan yang pertama kali ditangani imigrasi. Agung memaparkan ada 5 motif pencari suaka. Motif pertama murni pengungsian, motif kedua menyangkut soal ekonomi.
"Dia sebetulnya orang mampu, kaya. Tapi hartanya dititipkan ke negara tertentu. Lalu dia menggunakan modus ini (mengaku pengungsi)," ucap Agung.
Setelah status pengungsi atau kewarganegaraan ketiga didapat, ia akan menuju ke negara yang hartanya dititipkan dan mengurusnya. Motif ketiga, bisa saja mereka mempunyai motif politik/hukum. Di negara asalnya, mereka buronan politik dan mengungsi untuk menyelamatkan diri.
"Motif kempat yaitu kriminal," cetus Agung.
Agung mengatakan orang yang mengaku pengungsi sejatinya adalah kriminal di negara asalnya. Untuk menghilangkan jejak, ia menyaru menjadi pengungsi.
"Bagaimana bila ia ternyata penyelundup? Penjahat? Peracik bahan kimia/bom? Mereka tidak punya data kependudukan," kata Agung.
Motif dan modus terakhir yaitu penggabungan dari berbagai motif di atas. Awalnya yang pura-pura mengungsi adalah kepala keluarga. Setelah berhasil mendapatkan kartu pengungsi, menyusul perempuan dan anak yang mengaku-aku sebagai istri dan anaknya.
"Di Indonesia ada 13 ribu orang," terang Agung.
Pengakuan Fresti tidak terlalu mengagetkan. Sebab, di Malaysia saat ini terdapat 100 ribu dan Thailand 90 ribu orang Fresti lain. Kedua negara itu menjadi negara transit, sambil menunggu peluang masuk negara tertentu. Oleh sebab itu, Imigrasi Indonesia sangat hati-hati atas isu-isu dan pengakuan tersebut.
Sebab, masalah pengungsi ada di bawah badan PBB UNHCR. Tapi faktanya, banyak 'pengungsi' yang dititipkan di Rumah Dinas Detensi (Rumdenim) tak diperhatikan UNHCR. Imigrasi atas dasar kemanusiaan memberikan bantuan ala kadarnya ke para 'pengungsi' itu.
Untuk sementara, Frista siang ini bisa bertemu dengan M Yasin di Rumdenim Manado. M Yasin diakui Frista sebagai suaminya. (jbr/ams)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini