Berdasarkan putusan yang dikutip dari website Mahkamah Agung (MA), Senin (26/3/2018), kasus bermula saat digelar proyek rumah bagi si miskin oleh Kementerian Perumahan Rakyat pada 2012 lalu. Nama proyek itu adalah Proyek Rumah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Hal itu ditindaklanjuti dengan proyek di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Untuk Flores Timur, proyek dimenangkan Philips dengan perusahaan PT Citra Djadi Nusantara. Ia berhak membangun 50 unit, namun hingga proyek selesai pada Desember 2012, hanya dibangun 3 unit.
Pemerintah masih memberikan waktu perpanjangan 6 bulan, tetapi target 50 unit juga tak kunjung terrealisasi. Alhasil, Philips diproses secara hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Vonis itu dikuatkan Pengadilan Tinggi (PT) Kupan pada 24 Januari 2016. Atas hal itu, Philips tidak terima dan mengajukan kasasi. Apa kata MA?
"Menolak permohonan kasasi pemohon," kata ketua majelis hakim agung Prof Surya Jaya.
Duduk sebagai anggota M Askin dan LL Hutagalung. Majelis menyatakan proyek Rp 1,3 miliar tetapi tidak terrealisasi sehingga negara merugi. Dari target 50 unit, hanya dibangun 3 unit rumah.
"Terdakwa menerima pembayaran 100 persen, padahal dalam pelaksanaan proyek hanya menyelesaikan 3 unit pembangunan rumah dari rencana 50 unit," ujar majelis dengan suara bulat.
Berkas tersebut lalu dikirim dari Jakarta ke NTT. Tapi saat akan dieksekusi, Philips tidak ada di rumah. Jaksa kelimpungan dan segera mencari Philips. Setelah berbulan-bulan dikejar, Philips ditangkap di rumah elitenya di Tanjung Merdeka, Makassar.
"Pada tanggal 22 Maret 2018 tepatnya Pukul 22.00 Wita telah dilakukan penangkapan terhadap DPO Philips Tandilinting di Perumahan terpidana Costa Blanka, Tanjung Merdeka," ucap Jamintel Kejagung, Jan Marinka. (rvk/asp)