Awalnya, Nur Alam menjelaskan dirinya membuat kebijakan izin usah pertambangan karena lokasi itu dikuasai oleh pihak asing atau luar. Apalagi masyarakat dan negara mengalami kerugian akibat kontrak tambang dari pihak asing itu.
"Apakah tindakan ini dari sisi niat bisa kategorikan niat jahat dalam mengambil kebijakan?" tanya Nur Alam saat sidang di Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta, Jumat (23/2/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Chairul Huda menyatakan tidak bisa berpendapat dalam fakta sidang. Namun ia menjelaskan bahwa ketika penggunaan kewenangan ada harapan masyarakat dalam menentukan kebijakan, termasuk meningkatkan perekonomian negara.
"Jadi kalau penggunaan kewenangan sudah mencapai tujuannya maka tidak akan mungkin menjadi sebuah niat jahat. Karena niat jahat dibuat diluar diharapkan masyarakat dan perundang-undangan," jelas Chairul Huda.
Kemudian Nur Alam kembali bertanya ke Chairul Huda mengenai perbuatannya dalam meminjam dana dengan sahabatnya dengan sebuah perjanjian. Dan dana peminjaman itu sudah dikembalikan sesuai isi perjanjian.
"Apakah perbuatan saya lakukan atau laksanakan itu kategori gratifikasi atau suap?" tanya Nur Alam.
Chairul Huda berpendapat gratifikasi mempunyai definisi pemberian dengan arti luas. Menurut dia, suatu pinjam atau meminjam tidak bisa disebut atau masuk kategori gratifikasi.
"Kalau gratifikasi hanya satu arah saja, pemberi dan penerima sudah selesai. Yang dimintai hukum hanya penerima saja," ucap Chairul Huda.
Dalam perkara ini, Nur Alam didakwa korupsi dengan memberikan persetujuan izin usaha pertambangan kepada PT Anugerah Harisma Barakah. Nur Alam diduga melanggar undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan, mineral dan batubara.
Atas perbuatannya, jaksa mengatakan Nur Alam memperkaya diri sendiri sebesar Rp 2.781.000.000 dan korporasi PT Billy Indonesia Rp 1.593.604.454.137. Jaksa juga menyebut negara mendapatkan kerugian sebesar Rp 4.325.130.590.137 atau Rp 1.593.604.454.137.
"Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi," kata jaksa saat membacakan dakwaan.
Nur Alam juga didakwa menerima gratifikasi USD 4.499.900 atau Rp 40.268.792.850 saat menjabat Gubernur Sulawesi Tenggara dua periode. Gratifikasi yang diterima Nur Alam dari berbagai pihak.
(fai/rvk)











































