Jonru menggugat agar status tersangkanya digugurkan Polda Metro Jaya dan Kajati DKI. Salah satu alasan gugatan praperadilan dilayangkan karena proses penetapan tersangka tidak melalui proses gelar perkara khusus.
Ketua tim kuasa hukum Jonru, Djudju Purwantoro, mengatakan awalnya Jonru diperiksa sejak Kamis 28 September sekitar pukul 16.00 WIB, tetapi keesokan harinya pada Jumat 29 September sekitar pukul 02.00 Jonru langsung dinyatakan sebagai tersangka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam dalil permohonannya, penyidik Polri dianggap tidak memiliki bukti permulaan yang cukup untuk menjadikan Jonru sebagai tersangka. Sebab pemohon hanya diperiksa selama 10 jam lalu telah dinyatakan tersangka.
"Selama proses pemeriksaan terhadap pemohon yang hanya berlangsung kurang dari 10 jam tersebut, atas dasar hukum apa termohon I (kepolisian) menetapkan pemohon sebagai tersangka, tentunya penetapan tersangka kepada diri pemohon sangatlah prematur dan dipaksakan," kata Djudju.
Ia juga mempermasalahkan pemeriksaan terhadap Jonru yang dilakukan selama 3 hari berturut-turut dari 29 September-1 Oktober. "Pemeriksaan dilakukan tanpa henti sehingga sekitar pukul 20.00 mengakibatkan pemohon jatuh sakit, kemudian kuasa hukum minta proses penyidikan dihentikan," ujarnya.
Djudju menyatakan keberatannya atas proses penggeledahan dan penyitaan barang bukti yang dilakukan di rumah Jonru, meskipun penyidik telah menyampaikan surat penangkapan kepada pihak keluarga. Namun ia keberatan karena saat penggeledahan Jonru tidak didampingi kuasa hukum. Ia menyebut proses penggeledahan dilakukan pada dini hari dianggap tidak manusiawi.
"Termohon I melakukan penggeledahan di rumah pemohon pada waktu seluruh keluarga dan tetangga pemohon sedang istirahat yaitu sekitar pukul 03.00 dini hari, suatu perbuatan yang sangat tidak manusiawi yang dilakukan termohon I," ujar Djudju.
Djudju menyebut penetapan tersangka atas kliennya tidak sah karena Jonru ditetapkan sebagai tersangka atas aduan Muannas Al Aidid. Ia mempertanyakan legal standing Muannas karena dianggap bukan sebagai korban dalam postingan Jonru.
"Legal standing pelapor dengan perkara a quo apakah pelapor adalah korban?" kata Djudju.
Djudju mengatakan terhadap postingan Jonru semestinya penyidik membuktikan terlebih dulu postingan yang dianggap memenuhi unsur ujaran kebencian. Menurutnya postingan Jonru tidak memiliki relevansi dengan perkara yang dilaporkan Muannas yang dianggap tidak memiliki legal standing.
Djudju mengatakan berdasarkan UU nomor 40 tahun 2008 tentang diskriminasi ras dan etnis mengatur seharusnya melaporkan Jonru ke kepolisian adalah Komnas HAM. Sebab dalam aturan itu menyebut penyampaian indikasi terjadi tindak pidana terkait diskriminasi ras dan etnis merupakan hak absolut dari Komnas HAM, akan tetapi dalam perkara ini Jonru justru dilaporkan oleh perseorangan.
"Menyatakan proses penyidikan, penangkapan, dan penahanan atas diri pemohon yang disangka melakukan tindak pidana melanggar pasal 4 huruf b angka 1 juncto pasal 16 UU no 16 2008 adalah tidak sah atau batal demi hukum karena bukan dilaporkan oleh Komnas HAM," ujarnya.
Selain itu Djudju menyebut terhadap barang bukti yang disita seperti laptop dan charger, dan hard disk tidak dilakukan proses digital forensik. Padahal menurutnya setelah penyidik menerima barang bukti digital maka harus dilakukan proses analisis oleh ahli digital forensik.
Dalam perkara ini, Jonru dikenai Pasal 28 ayat 2juncto Pasal 45 A ayat 2 dan/atau Pasal 35 juncto Pasal 51 UU RI No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU RI No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 4 huruf b angka 1 juncto Pasal 16 UU RI No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan/atau Pasal 156 KUHP. (yld/jor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini