Dalam sidang yang diajukan oleh Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba dkk, terdapat banyak warna warni adu argumen.
Sidang ini dimulai pada 10 November 2016 silam dan berakhir pada hari ini. Banyak pihak dilibatkan dalam persidangan mulai dari DPR, pemerintah, tokoh penghayat dan tokoh agama. Perdebatan pun tak terelakkan selama sidang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"PNPS mengakui ada agama resmi. Kemudian, ada dari sekelompok yang asli mengatakan, 'Lho, yang berasal dari asing malah diakui'. Kan kita tahu semua, yang keenam keyakinan atau agama itu kan asing sebetulnya, kalau kita mau jujur. Dari yang asing diakui, tapi kalau agama leluhur yang genuine yang asli Indonesia kenapa tidak diakui?" kata Arief.
Baca Juga: Penghayat: Jauh Sebelum Agama, Kami Ajarkan Kehidupan yang Beradab
Adapun hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna menggali soal kaitan politik dan agama.
"Sebenarnya yang mau saya tanyakan itu begini, adakah kaitan antara politik rekognisi yang Ahli sampaikan tadi itu dengan tujuan legitimasi yang hendak dituju sebenarnya oleh negara? Apakah itu negara ataukah sebenarnya itu bagian dari kepentingan suatu rezim dalam suatu periode tertentu?" kata Palguna.
Bagaimana dengan hakim konstitusi Saldi Isra? Menurut Saldi, seandainya permohonan dikabulkan, identitas apakah yang perlu dituliskan di kolom agama pada KTP. Sebab, menurut Saldi, aliran penghayat atau penganut kepercayaan sangat banyak di Indonesia.
"Pertanyaan saya tadi yang diperlukan, apakah mencantumkan kepercayaan atau penghayat itu di dalam KTP? Atau yang paling kita pentingkan sekarang adalah mengidentifikasi secara jelas kelompok-kelompok penghayat atau penganut kepercayaan itu?" tanya Saldi.
Sedangkan Wakil Ketua MK mencoba menggali definisi agama versi Penghayat.
"Pihak terkait tadi saya minta penegasan, tadi agama dari bahasa kawi itu artinya apa?" ujar Anwar kepada pihak terkait.
Adapun Hakim konstitusi Maria Farida Indrati menegur pemerintah agar serius atas perkara tersebut karena menyangkut hak asasi manusia. Sebab menurutnya, Penghayat sudah ada jauh sebelum hadirnya agama di Indonesia.
"Ya, saya rasa untuk Pemerintah juga. Bahwa kalau itu hanya suatu implementasi dan kemudian harus mengatakan dikosongkan dan sebagainya, tidak akan mungkin ada permohonan seperti ini. Karena dalam kenyataannya memang aliran kepercayaan itu ada dan itu ada sebelum agama-agama itu datang sehingga kita harus juga melihat bahwa kenyataan itu ada, mereka ada," kata Maria.
Di seberang meja hakim, para penghayat bercerita tentang keyakinannya.
"Kami sendiri merasakan di Bumi Tatar Parahyangan Sunda untuk meneguhkan identitas kami sebagai Sunda Wiwitan, itu dianggap aneh. Jauh sebelum agama-agama yang berkembang sekarang, leluhur kami sudah punya ajaran yang mengajarkan sebuah tatanan kehidupan yang beradab," kata Dewi Kanti Setyaningsih.
Dewi sehari-hari beraktivitas di Komunitas Adat Karuhun Sunda Wiwitan. Dewi sebagai Penghayat Kepercayaan merasa terpinggirkan oleh negara, padahal telah ada jauh sebelum ada Indonesia.
"Kami ada jauh sebelum negara kesatuan republik ini ada dan kami betul-betul ingin menitipkan suara hati anak-anak negeri ini," ujar Dewi dalam sidang pada 2 Februari 2017 lalu.
Dari kursi ahli, hadir Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), UGM, Yogyakarta, Samsul Maarif. Menurutnya, selalu ada tarik menarik antara rezim yang berkuasa dengan pemeluk kepercayaan dan agama.
"Upaya politik agama --mungkin lebih khusus politik Islam-- sejak awal hingga hari ini terus ada dan itu terus diajak bernegosiasi oleh rezim, dan hasil negosiasi itu adalah hasil yang kita lihat dalam sejarahnya. Pancasila tegas, tegas bahwa menurut saya, Pancasila melihat perlakuan terhadap penghayat ini diskriminasi, tetapi harus diajak bernegosiasi dengan tuntutan politik rekognisi ini, politik identitas ini, atas nama mayoritas yang harus lebih banyak mendapatkan privilege dibanding dengan yang minoritas," jawab Samsul.
Lantas bagaimana kata Penghayat sendiri? Mereka membantah selama ini menyembah hantu.
"Image daripada kepercayaan itu sangat-sangat buruk, mereka menganggap kepercayaan itu adalah Sipelebegu, Yang Mulia, yang artinya menyembah hantu. Padahal kepercayaan itu, Yang Mulia, bukan Sipelebegu, hanya kepercayaan itu mempercayai semua warisan leluhur. Itulah cara kami meminta kepada Tuhan. Jadi, kami tidak menyembah hantu seperti image yang dikenakan kepada kepercayaan," kata penyintas Ugamo Bangsa Batak, Rosni Simarmata.
Perdebatan itu sudah ditutup dengan putusan MK bila Penghayat Kepercayaan bisa masuk kolom agama di KTP. Vonis itu diketok secara bulat oleh 9 hakim konstitusi. Kementerian Dalam Negeri segera melaksanakan perintah 9 pengawal konstitusi tersebut.
(rvk/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini