"Alasan kenapa perusahaan ditersangkakan karena, dari sejumlah Rp 130 miliar itu, Rp 61 miliar di antaranya masuk ke perusahaan, masuk ke aset perusahaan. Sehingga untuk menarik kerugian negara, perlu menjadikan perusahaan sebagai tersangka," ujar Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Martinus Sitompul di gedung Mabes Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (20/7/2017).
Martinus mengatakan penetapan perusahaan sebagai tersangka kasus korupsi baru pertama kali dilakukan penyidik Bareskrim Polri sejak lahirnya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan sepanjang kepolisian menangani kasus korupsi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tersangka dalam hal ini subjek hukumnya korporasi baru pertama kali dilakukan oleh penyidik Bareskrim Polri. Ini satu-satunya penyidikan tindak pidana korupsi yang mentersangkakan korporasinya. Belum ada satu pun tersangka korporasi yang pernah disidik," ujar Martinus.
"Sudah P-21 dan akan diserahkan minggu depan oleh penyidik untuk tahap keduanya," imbuh mantan Kabid Humas Polda Metro Jaya ini.
Hukuman terkait korporasi, sambung Martinus, dapat berupa denda, penyitaan, dan pembekuan aset perusahaan.
"Sehingga nanti ada tiga putusan pengadilan, yaitu denda, aset disita, dan pembekuan aset. Kalau denda ya tanggung renteng. Kalau tidak bisa, ya diambil aset-aset perusahaan untuk negara," terangnya.
Sementara itu, Kasubdit V Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri Kombes Indarto mengatakan tujuan penetapan perusahaan sebagai tersangka adalah untuk pemulihan atau pengembalian kerugian negara (asset recovery).
Penyidik menilai perusahaan telah mengambil keuntungan dari perbuatan tindak pidana yang dilakukan pejabat perusahaan, yakni Direktur Utama PT Offistarindo Adhiprima, Harry Lo.
"Kita melihat korporasi mengambil manfaat atas perbuatan koruptif. Maka, dalam rangka asset recovery, kita tetapkan perusahaan sebagai tersangka. Agar uang yang masuk ke korporasi dapat diambil lagi oleh negara," tutur Indarto.
Dalam rangka asset recovery, polisi akan menelusuri semua aset milik perusahaan dan jajaran petingginya untuk mengetahui aset mana saja yang berasal dari uang korupsi.
"Yang akan kita lakukan men-tracing semua aset perusahaan plus aset pengurusnya sehingga nanti, kalau hakim kasih pidana denda atau uang pengganti, nanti ada aset yang disita untuk negara," ujar Indarto.
"Korporasi dapat dikenai tersangka ketika perbuatan itu dilakukan para pengurusnya atau melakukannya atas nama dan untuk perusahaan, dan ada manfaat yang diambil perusahaan. Unsur itu terpenuhi. Untuk keuntungan perusahaanlah gampangnya," imbuhnya.
PT Offistarindo Adhiprima dijerat Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 20 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999.
Dalam kasus ini, Bareskrim Polri menetapkan lima orang tersangka. Kelimanya adalah mantan Kasi Sarpras Sudin Dikmen Jakarta Barat Alex Usman dan Kasudin Dikmen Jakarta Pusat Zaenal Soleman. Keduanya menjadi pejabat pembuat komitmen dalam tender pengadaan UPS.
Kemudian mantan anggota DPRD DKI Jakarta Muhammad Firmansyah dan Fahmi Zulfikar, yang dinilai telah mengegolkan anggaran untuk UPS. Terakhir Direktur Utama PT Offistarindo Adhiprima, Harry Lo, pemenang tender UPS. Kelimanya sudah diproses hingga tahap vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta. (aud/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini