JPPI: Penolakan Siswa Miskin dan Pungli masih Ada di PPDB 2017

JPPI: Penolakan Siswa Miskin dan Pungli masih Ada di PPDB 2017

Jabbar Ramdhani - detikNews
Kamis, 06 Jul 2017 19:28 WIB
Pendaftaran Murid Baru SMA di Jakarta (Foto: Rengga Sancaya/detikcom)
Jakarta - Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) membuka posko pengaduan masyarakat terkait Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2017. Hasilnya, ada sebesar 41 persen masyarakat yang melaporkan bermasalah dengan sistem zonasi yang diterapkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Laporan soal sistem zonasi ini menjadi yang terbesar karena banyak masyarakat yang belum mengetahuinya. Oleh sebab itu, banyak yang ditolak di sekolah negeri atau favorit karena sistem ini.

"Kebijakan soal zonasi ini tidak banyak diketahui oleh masyarakat sehingga mereka terkena dampak secara langsung. Ada beragam alasan bagi mereka yang terkena sistem ini," jelas JPPI lewat keterangan tertulis yang diterima, Kamis (6/7/2017).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Baca juga: Alasan Kemendikbud Terapkan Sistem Zonasi dalam PPDB

Di antara alasan yang disampaikan di antaranya ialah nama anak belum masuk kartu keluarga (KK), tinggal di kecamatan atau kabupaten sebelah mengikuti orang tua kerja, ikut keluarga merantau, dan pisah dengan orang tua dan tinggal bersama sanak saudara.

Selain itu, ada juga alasan tidak mau pilih sekolah sesuai zonasi karena minimnya infrastruktur dan ketersediaan tenaga guru yang berkualitas. Kasus ini masuk ke JPPI dari daerah Nunukan, Bali, Aceh, dan Kota Tangerang.

Atas laporan ini, JPPI merekomendasikan peninjauan ulang kebijakan sistem zonasi dalam PPDB. Selain itu, sosialisasi sistem mesti disampaikan dari jauh-jauh hari.

"Sistem zonasi perlu ditinjau ulang sebab banyak memakan korban, hanya gara-gara ketidaklengkapan administratif. Perlu ada sosialisasi jauh-jauh hari supaya calon peserta didik menyiapkan segala keperluan administratif. Juga, sistem ini dinilai menimbulkan masalah karena kualitas sekolah dan SDM-nya belum merata," katanya.

Diagram laporan masyarakat ke Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) soal Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2017Diagram laporan masyarakat ke Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) soal Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2017 (Foto: Dok. JPPI)

Laporan terbanyak kedua ialah soal adanya sekolah swasta atau negeri yang menolak siswa miskin. Banyak sekolah yang menolak siswa yang tergolong rawan melanjutkan pendidikan (RMP) banyak yang ditolak dengan alasan kuota sudah penuh.

"Ini harusnya tidak boleh terjadi, karena batas kuota di Permendikbud No.17/2017 adalah minimal 20 persen. Jadi, bisa lebih banyak dari 20 persen. Harusnya bisa ditambah. Karena mereka adalah kelompok rentan putus sekolah," tulisnya.

Kasus ini terjadi di Bandung, Surabaya, Kabupaten Tangerang, dan Ambon. Bahkan, di daerah Kulonprogo tidak menerapkan kuota untuk orang miskin sama sekali.

Baca juga: Daftar Sekolah Online Masih Semrawut, Mendikbud Anggap Wajar

Namun, kuota 20 persen siswa miskin memiliki problem lain. Dalam PPDB 2017 ini masyarakat melaporkan adanya pemalsuan data siswa miskin.

Banyak kalangan yang memanfaatkan hal ini dengan membuat Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Di temukan SKTM abal-abal yang tidak sesuai dengan fakta seperti punya mobil tapi mempunyai SKTM. Laporan atas kasus ini banyak terjadi di propinsi Jawa Tengah, Banten, dan Kalimantan Timur.

Persoalan pungutan liar (pungli) saat mendaftar juga masih terjadi. Laporan ini banyak terjadi di sekolah swasta yang mendapatkan dana bantuan operasional sekolah (BOS).

Baca juga: Ortu Calon Siswa Kecewa Website PPDB Jabar tidak Bisa Diakses

Ada sekolah swasta yang meminta biaya formulir pendaftaran Rp 150 ribu dan dana sumbangan pendidikan (DSP) mencapai Rp 3 juta sampai Rp 5 juta. Harusnya, untuk sekolah swasta yang tidak mendapatkan BOS, boleh saja memungut biaya. Tapi, untuk sekolah swasta yang mendapatkan BOS, maka dilarang memungut biaya saat PPDB.

JPPI meminta pihak Kemendikbud menindak tegas oknum yang melakukan pungli dan jual beli bangku di sekolah. Sebab rata-rata semua sekolah swasta di daerah menerima dana BOS, hanya sedikit yang tidak terima dana BOS.

"Jadi, masuk sekolah negeri tanpa biaya, juga daftar di sekolah swasta juga tanpa biaya," tegasnya.

Persoalan lain yang dilaporkan oleh masyarakat di antaranya ialah adanya laporan siswa titipan pejabat, tidak ada transparansi saat pengumuman kelulusan karena sistem online yang hang, dan daya tampung sekolah negeri tidak mencukupi, harus daftar ke swasta tapi berbayar. (jbr/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads