"Penambahan dana parpol tidak menjamin hilangnya praktik korupsi politik," ungkap Deputi Sekjen Fitra, Apung Widadi dalam keterangan tertulisnya, Kamis (6/7/2017).
Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) berencana menaikkan dana bantuan untuk parpol dari Rp 108 menjadi Rp 1.000 per suara. Saat ini pemerintah mengeluarkan dana sekitar Rp 13,42 miliar untuk 12 partai politik peserta Pemilu 2014.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fitra memberikan sejumlah catatan soal dana bantuan parpol yang masih banyak masalah bahkan tanpa dinaikkan. Seperti soal laporan keuangan yang tidak diberikan oleh sejumlah partai.
"Fitra pernah melakukan permohonan dokumen terkait laporan keuangan seluruh Parpol yang bersumber dari APBN/APBD pada tahun 2016, hasilnya banyak parpol yang tidak bisa memberikan laporan keuangan tersebut," kata Apung.
Fitra juga menilai pengelolaan dana bantuan parpol belum transparan. Ada sejumlah data yang disampaikan Apung berdasarkan catatan Fitra soal dana bantuan parpol ini.
"Pemkab Karimun tahun 2012, berdasarkan LHP (laporan hasil pemeriksaan) BPK tahun 2014 ditemukan 4 partai politik yang belum menyerahkan laporan pertanggung jawaban tahun anggaran 2012 sebesar Rp 196.264.077," jelasnya.
Selain itu, Fitra mengungkap soal kasus korupsi dugaan penyelewengan dana bantuan parpol oleh Bupati Jepara, Ahmad Marzuki. "Korupsi dana parpol di Jepara. Kasus yang menjerat Bupati Jepara di mana pada tahun anggaran 2011-2012 diduga menyalahi dana bantuan parpol untuk tunjangan hari raya (THR) pengurus (partai), negara dirugikan Rp 79 juta," terang Apung.
Fitra juga mengungkap adanya sejumlah partai yang belum melengkapkan laporan keuangan dana bantuan parpol ke Kemendagri. Ini menurut Apung sesuai dengan laporan audit BPK.
"Pada tahun anggaran 2006, berdasarkan audit BPK pada Departemen Dalam Negeri ditemukan 3 DPP yang belum membuat laporan secara legkap dan sah senilai Rp 125 juta," ucapnya.
Apung menjelaskan berdasarkan audit BPK tahun 2006, 3 partai yang pertanggungjawaban pengeluaran bantuan keuangannya belum lengkap dan sah adalah PDIP, PPP, serta PDS (Partai Damai Sejahtera). Nilai dana untuk PDIP sebesar Rpn 53,7 juta, PPP Rp 24 juta, dan PDS senilai Rp 47,9 juta.
"Setelah tahun 2006, audit parpol nggak aktif. Nggak pernah diaudit lagi," tutur Apung.
Untuk itu, Apung menyatakan pihaknya menilai kenaikan dana bantuan parpol tidak akan efisien. Sebab tidak ada jaminan kenaikan tersebut akan menghilangkan korupsi di tubuh partai politik.
"Karena Parpol sendiri belum membangun sistem transparansi dan akuntabilitasnya. Dana itu hanya untuk operasional kantor, sedangkan korupsi politik untuk aktivitas politik praktis seperti kampanye dan Pemilu," urai Apung.
Fitra pun meminta agar rencana kenaikan dana parpol tidak dilanjutkan. Sebab berkurangnya APBN karena hal ini dianggap tidak sebanding dengan hasil yang akan dicapai.
"Lebih baik batalkan kenaikan dana parpol itu agar APBN tidak semakin defisit," tukasnya.
Sebelumnya Mendagri Tjahjo Kumolo membantah kenaikan dana bantuan parpol ada hubungannya dengan pembahasan RUU Pemilu. Menurut Mendagri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan BPK mendukung usulan kenaikan dana Parpol. Sampai sekarang pembahasan soal kenaikan dana Parpol ini masih terus dilakukan.
"Sekarang tinggal bagaimana. Itu kan kecil bantuannya tidak ada hubungannya dengan UU Pemilu. Bantuan kan wajar. Wajar kalau pemerintah anggarannya APBN-nya tinggi ya kita beri tinggi kalau kecil ya kita beri kecil," sebut Tjahjo, Rabu (5/7). (elz/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini