Sebagai daerah perbatasan Indonesia-Papua Nugini, Merauke adalah kabupaten ikonik yang namanya sering disebut-sebut di syair lagu wajib nasional. Ibu Kota Kabupaten diwarnai oleh gairah warga pendatang, transmigran, dan warga asli.
![]() |
Kondisi infrastruktur di jalan-jalan utama dirasakan detikcom pada 8 sampai 14 Mei 2017. Aspal layak menyambut kendaraan dari arah Bandar Udara Mopah hingga ke pusat kota. Gedung pemerintahan, tempat ibadah, pantai, hingga Tugu Lingkar Brawijaya (Libra) telah terhubung oleh aspal yang cukup ramah dengan kendaraan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Masih di Kota, ternyata tak semua ruas jalan telah mulus. Kami mencoba pergi ke Kantor Dinas Lingkungan Hidup di Jalan Peternakan Mopah Lama Merauke, lanjut sampai ke Kantor Dinas Kesehatan di Jalan Garuda Mopah Lama. Di deretan kantor-kantor pemerintahan ini, aspal rusak kami jumpai. Mobil jenis multi guna (MPV) kami bergoyang-goyang seturut lubang jalan.
![]() |
Pergi lebih jauh ke luar kota, kami menuju ke arah Distrik Sota, kawasan batas negara yang sering dikunjungi pejabat pemerintahan dan warga luar daerah. Jaraknya sekitar 80 km dari Kota Merauke. Nama jalannya adalah Jalan Trans Papua, ini adalah jalan yang sering dibicarakan orang bila bicara mengenai jalan di Papua.
Jalan Trans Papua di wilayah selatan ini terdiri dari dua jalur. Rata-rata total lebarnya sekitar 3 meter hingga 3,5 meter. Kendaraan yang melintas berupa sepeda motor, mobil, hingga truk. Kanan-kirinya adalah rawa-rawa dan hutan, bagian dari belantara Taman Nasional Wasur.
![]() |
Mayoritas kondisi aspal Jalan Trans Papua dari kota menuju Distrik Sota cukup baik, meski ada lubang di sana-sini. Di salah satu titik, terlihat ada pengerjaan pelebaran jalan. Total waktu tempuh dari Kota Merauke ke Sota yakni 1,5 jam untuk jarak 80 km.
"Selepas Pos Sota ke arah Kaliwanggo, jalanan rusak. Saya tidak berani membawa mobil biasa seperti ini, harus memakai mobil empat gardan," kata Nyoto, sopir kami.
![]() |
Jalan Trans Papua selepas Sota dikesankan orang-orang di sini sebagai medan yang tak ramah. Apalagi bila jalanan itu diguyur hujan, kendaraan harus berjuang setengah mati untuk melaluinya. Jalanan itu menghubungkan Distrik Sota ke Distrik Muting, sampai ke Kabupaten Boven Digoel. Truk-truk pembawa barang biasa melintasi jalanan itu.
Akhirnya kami membuktikan sendiri. 13 Mei, hujan turun di pagi hari, berhenti, dan hujan lagi. Kondisi cuaca seperti ini ternyata merupakan ciri khas. Semoga saja jalan Trans Papua selepas Pos Perbatasan RI-PNG di Sota tak menjelma menjadi kubangan lumpur gara-gara hujan seperti ini. Kami berangkat dari Pos Sota, diantar oleh personel Yonif Para Raider 503/Mayangkara menggunakan pikap empat gardan beratap terpal.
Berangkat! Pukul 09.00 WIT, kami menuju Pos Kaliwanggo, sekitar 40 km ke depan. Gapura 'Selamat Jalan Merauke 84 Km' melepas kami. Sejauh ini aspal cukup baik. Ada lubang-lubang kotak ukuran 1 x 1 meter untuk perbaikan jalan. Alat-alat berat semacam eskavator hingga stoom wall sesekali terlihat di pinggir-pinggir.
![]() |
Suasana di kanan-kiri masih tetap sama, rawa dan hutan. Pohon-pohon bus (eukaliptus) berkulit kayu putih mengelupas mudah terlihat di tanah rawa yang tergenang air. Bila kemarau, air rawa itu bakal hilang.
Tak ada lampu jalan atau tiang listrik di sini. Terbayang betapa gelap jalanan bila malam tiba. "Orang-orang yang lewat sini sering menginap di jalan," kata salah seorang personel TNI yang menemani perjalanan kami.
Tak ada penjual bensin eceran di sini, kecuali bila sudah sampai Kampung Erambu, sekitar sejam lagi bila jalanan tak terlalu rusak. Selain perlu mengisi penuh tanki bahan bakar kendaraan, penempuh perjalanan juga perlu ke toilet dulu sebelum berangkat, karena tak ada toilet di sini kecuali bila tak keberatan buang hajat di rawa-rawa.
![]() |
3 Km terlewati. Jalanan mulai rusak. Aspal pecah berganti lumpur cokelat kemerahan. Kendaraan yang kami tumpangi menjadi lebih hati-hati.
Hujan yang turun sejenak menambah pekat lumpur ini, menempel di ban-ban kendaraan pelintas. Lubang-lubang ada di tengah jalan, atau cekungan yang membuat mobil berguncang. Beruntung, mobil tidak terjebak di tanah liat ini.
Alat-alat berat masih sesekali terlihat, ada pula satu mes pekerja terbuat dari kayu di kanan jalan. Alat berat bakal menggali tanah di kanan-kiri untuk menutup lubang di badan jalan. Pekerjaan seperti itu memang harus terus dilakukan, barangkali sampai 2019 saat Jalan Trans Papua ini sempurna.
![]() |
Sepeda motor dua tak dengan sepatbor tinggi agaknya menjadi favorit warga setempat untuk menerjang medan rusak seperti ini. Namun ada pula motor matik yang dikendarai mama-mama yang melintas. Motor matik bisa melintas karena saat ini memang jalanan sedang tak terlalu rusak. Akan beda cerita bila hujan deras lama mengguyur jalanan ini.
Seorang personel Satgas Pamtas memperlihatkan video suasana jalanan ini saat musim hujan. Terlihat truk dan mobil benar-benar susah payah melepaskan diri dari jerat lumpur yang menjebak. Sembarang menginjak gas, yang ada malah roda mobil terjebak semakin dalam. Mobil empat gardan bisa tak terlihat rodanya karena terbenam di tanah. Kalau demikian keadaannya, kendaraan lain harus membantu menarik dengan tali kuat.
Terlihat para warga, tua, muda, dan anak-anak beraktivitas. Ada yang memancing, membawa ikan, dan juga menancapkan kayu yang menggantung ikan-ikan gabus hingga mujair di tepi jalan. Mereka memang menjual ikan-ikan yang didapat dari sungai dan rawa itu.
![]() |
Sungai Wanggo sudah terlihat. Gerbang berakhirnya Taman Nasional Wasur mengakhiri perjalanan menuju Pos Komando Taktis (Kotis) Kaliwanggo. Total waktu tempuh dari Pos Sota ke Kaliwanggo adalah satu jam lebih 15 menit.
"Lumayan cepat ini," kata seorang personel berpangkat Kapten menyambut kedatangan kami di Pos Kaliwanggo.
Kami kemudian melanjutkan sampai Kampung Erambu, di tepian Sungai Wanggo. Tenaga guru di sini menyatakan kondisi Jalan Trans Papua saat ini tergolong mendingan ketimbang beberapa waktu lalu saat hujan deras mengguyur. Kondisi sekarang memungkinkan kendaraan bisa melaju cukup cepat.
"Kita nggak bisa jamin kondisi di sini. Enam bulan rusak lagi setelah jalanan dipadatkan. Kalau musim hujan nggak diperbaiki, kerusakan jalan semakin lebar," kata Kepala Sekolah SMP Negeri Erambu, Budi S Wahono. Dia adalah warga Kota Merauke yang biasa menempuh perjalanan lebih dari 100 km ke Erambu, naik sepeda motor.
Malam harinya, kami pulang dari Pos Kaliwanggo menuju Pos Sota melewati jalan yang sama. Tak ada penerangan lampu jalan.
![]() |
Gelap yang menyergap dibelah oleh cahaya lampu mobil. Angin malam dan suara serangga dari pohon-pohon di rawa menemani kami. Namun mobil kami bukan satu-satunya yang melintas.
Pengguna jalan lebih berhati-hati dalam kondisi gelap seperti ini. Terlihat ada lubang menganga yang siap menjebak kendaraan yang tak awas. Aspal di sini tak dilapisi bebatuan. Ini juga yang membuat jalanan mudah hancur berganti lumpur. Terhuyung-huyung adalah hal lumrah di jalan ini.
Simak terus cerita tentang daerah terdepan Indonesia di tapalbatas.detik.com!
(dnu/tor)