"Dengan menguji permohonan pasal kearifan lokal sebagaimana dalam permohonan pemohon, itu telah menuding masyarakat adat. Itu tudingan serius, hakim harus menolak itu," ujar kuasa hukum Walhi dan ICEL, Andi Muttaqien usai pendaftaran gugatan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (8/6/2017).
Andi menuturkan alasan penolakan dilakukan judical review oleh Walhi dan ICEL, karena tidak melihat ada argumentasi kuat oleh pemohon tentang kerugian konstitusional. Terlebih tidak bertengangan dengan batu uji yakni UUD 1945.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Andi juga menilai kalau pengujian pasal UU PPLH dikabulkan, maka dampaknya tidak hanya kepada lingkungan hidup. Tetapi juga kualitas dari masyarakat di sekitar lingkungn hidup tersebut.
"Kalau ini dikabulkan berakibat untuk lingkungan hidup. Oleh karena itu kami selaku kuasa dua lembaga dimohonkan sebagai pihak terkait di MK, sehingg bisa mengajukan bukti dan argumentasi yang dibutuhkan majelis hakim untuk persidangan," pungkasnya.
Gugatan itu diajukan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Salah satu pasal yang digugat adalah Pasal 88 atau dikenal dengan 'Pasal Strict Liability' yang berbunyi:
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
APHI dan GAPKI meminta MK memberikan tafsir bersyarat terhadap pasal 88 itu. Sehingga berbunyi:
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi sepanjang kerugian tersebut disebabkan oleh orang yang bersangkutan. (edo/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini