Namun menurut Direktur Imparsial Al Araf, peran militer terkait terorisme sebenarnya telah diatur dalam Undang-undang TNI. "Pelibatan militer dalam mengatasi terorisme sesungguhnya sudah diatur secara tegas dalam Pasal 7 Ayat 2 dan Ayat 3 UU TNI nomor 34 tahun 2004," ujar Al Araf melalui keterangan tertulis, Selasa (30/5/2017).
Dalam praktiknya, Al Araf menyebut selama ini militer sudah terlibat dalam mengatasi terorisme, misalnya melalui operasi perbantuan di Poso. Dia menyebut pelibatan militer adalah pilihan terakhir (last resort) apabila komponen pemerintah lainnya sudah tidak mampu mengatasi aksi terorisme.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia juga menegaskan apabila nantinya pelibatan TNI dalam revisi UU Antiterorisme itu tetap dilakukan maka harus dipastikan tidak adanya tumpang tindih aturan. Misalnya, menurut Al Araf, harus ada jaminan mekanisme hukum yang akuntabel untuk menguji (hebeas corpus) terhadap setiap upaya paksa (penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan lain-lain) yang dilakukan oleh aparat TNI untuk menjamin terpenuhinya hak asasi manusia (hak-hak para tersangka).
"Terlebih, anggota TNI juga belum tunduk pada peradilan umum bila terjadi kesalahan dalam penanganan teroris dan hanya diadili melalui peradilan militer yang diragukan independensinya untuk menyelenggarakan peradilan yang adil," imbuhnya.
Al Araf juga mengatakan revisi UU itu haruslah sesuai dengan sistem negara demokrasi, patuh hukum, dan HAM. Dia juga menyebut revisi itu harus menggunakan model mekanisme criminal justice system.
"Karena itu pelibatan militer dalam mengatasi terorisme hanya bisa dilakukan jika ada keputusan politik negara dengan mempertimbangkan eskalasi ancaman yang berkembang dan merupakan pilihan yang terkahir," pungkas Al Araf. (nif/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini