Ada yang namanya rampogan sima, yakni sebentuk pertunjukkan yang melibatkan masyarakat banyak. Pertunjukkan ini konon sudah ada sejak zaman dulu. Sebagian menyebut tradisi ini sudah ada sejak era Kerajaan Singasari, namun sebagian lagi menyebut pertunjukkan semacam ini baru ada sejak abad ke-17 di Jawa.
Dalam buku 'Bakda Mawi Rampog', R Kartawibawa menceritakan soal rampogan macan ini. Buku ini diterbitkan Balai Pustaka (Bale-Poestaka) pada tahun 1923, dipindai oleh peneliti dari Universitas Gadjah Mada, Djoko Luknanto, dan diunggah di situs staff UGM.
Menggunakan Bahasa Jawa, Kartawibawa menggunakan istilah 'sima' untuk merujuk kepada kucing besar ini, terkadang juga menggunakan istilah 'macan loreng' untuk merujuk pada harimau, atau menambahkan keterangan untuk macan jenis yang lain. Di masa kecil penulis, hewan pemakan daging yang tersebar di Pulau Jawa ini masih cukup sering dijumpai. Kadang-kadang, harimau Jawa ini memangsa ternak warga hingga akhirnya diburu.
Bahkan penguasa saat itu memberi imbalan bagi siapa saja yang bisa membunuh si loreng. Satu ekor harimau dihargai 10 hingga 50 Gulden. Dalam kondisi seperti itu, acara rampogan macan menjadi hal biasa.
Sebenarnya apa itu rampogan macan? Ini adalah acara yang melibatkan ribuan orang yang memegang tombak, biasa digelar di alun-alun kota. Sejumlah kucing besar dan sedang, yakni harimau Jawa, macan loreng, macan kumbang, dan macan sruni, dilibatkan, atau dikorbankan lebih tepatnya.