DPR Kaji e-Voting di Jerman, KPU: Sistem Itu Tak Perlu Dipakai

DPR Kaji e-Voting di Jerman, KPU: Sistem Itu Tak Perlu Dipakai

Aditya Mardiastuti - detikNews
Selasa, 14 Mar 2017 09:42 WIB
Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay (Lamhot Aritonang/detikcom)
Jakarta - Salah satu hal yang dikaji dalam kunjungan kerja Panitia Khusus (Pansus) RUU Penyelenggaraan Pemilu ke Jerman dan Meksiko adalah soal sistem e-voting. Meski demikian, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay menyebut belum ada urgensi untuk menggunakan sistem e-voting.

"Menurut kami, impossible (Pemilu 2019) dan tidak perlu dipakai," kata Hadar saat berbincang, Senin (13/3/2017) malam.

Hadar menyebut penggunaan teknologi e-voting pada pemilu mendatang terasa dipaksakan. KPU, kata Hadar, menyebut Indonesia tidak perlu menggunakan sistem tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Penerapan teknologi dalam pemilu itu bukan aspek teknologi saja yang dilihat, bahkan teknologi pun kalau dilihat teknologinya banyak sekali yang harus dicek betul pilihan-pilihan teknologinya. Saya bilang sekarang kita tidak butuh dan tidak mungkin kita lakukan kalau misalnya kita menyatakan kita butuh terus kemudian kita mau menerapkan dan kita mau menggunakannya di tahun 2019," urai dia.

"KPU rombongan kami ini diskusinya sejak kami mulai kami berpandangan teknologi memang membantu. Makanya KPU sekarang dibanding sebelumnya kami banyak menggunakan sistem teknologi informasi. Bahkan kalau didalami dan diperbandingkan banyak sekali. Tapi kalau apakah perlu e-voting kami mulai kajian 2 tahun lalu. Kesimpulannya, tidak perlu e-voting," sambungnya.

Baca Juga: Pansus Pemilu DPR Terbang ke Jerman dan Meksiko, Pulang 16 Maret

Hadar mengatakan beberapa negara maju malah tidak menggunakan sistem e-voting karena perdebatan mengenai transparansi dan kredibilitas hasilnya. Dia mencontohkan, Jerman sudah menyetop penggunaan sistem tersebut.

"Yang kita tahu Jerman itu dia putuskan (melalui) Mahkamah Konstitusinya bahwa kita setop menggunakan e-voting. Simply karena konstitusinya (mengharuskan) semua warga harus tahu bagaimana pemilu itu dilakukan. Jadi pemahaman umum pemilihan umum penting di Jerman, tapi setelah dicek ini masyarakat banyak yang nggak tahu jadi nggak bisa diteruskan e-voting ini setelah mereka lama menggunakannya," paparnya.

Hadar mengatakan identifikasi masalah di Indonesia tidak bermasalah dengan sistem voting. Melainkan bagaimana penyelenggara pemilu bisa menghadirkan hasil yang cepat, akurat, dan minim manipulasi.

"KPU melihat masalah kita bukan di voting, tapi kita lebih bagaimana kita bisa dapat hasil cepat, hitungan akurat, integriti kuat dari manipulasi sulit dilakukan itu yang kita perlukan. Sedangkan kalau e-voting itu bisa menghilangkan sesuatu proses yang selama ini tidak masalah dengan itu. Sebenarnya proses ini sangat bagus di dalam Indonesia, jadi itu proses di TPS," sebut dia.

Baca Juga: Pansus DPR Kaji Sistem Pemilu hingga E-Voting di Jerman

Dia menambahkan proses penghitungan suara di tempat pemungutan suara (TPS) Indonesia menunjukkan sistem yang terbuka. Ada interaksi yang terjalin di antara masyarakat saat proses penghitungan suara.

"Karena proses di TPS itu lain. Di kita itu, orang ikutan (menghitung), berpartisipasi. Kalau kita kemudian menerapkan e-voting, proses itu akan hilang. Kalau di kita itu kan menarik, salah Pak, itu justru kelebihan kita. Pengamat asing, kita harus percaya karena dia sudah mengkaji di banyak negara, dia anggap kekuatan Indonesia justru di situ. Kita nggak punya problem di situ," tambahnya.

Hadar kemudian mencontohkan India dan Brasil merupakan negara yang sukses menggunakan teknologi e-voting. Kedua negara itu pun perlu melalui proses panjang hingga akhirnya bisa dibilang sukses menerapkan sistem tersebut.

"Penggunaan teknologi di proses e-voting yang lumayan baik Brasil sama India. Tapi itu perjalanan sejarah yang nggak pendek, mereka belasan tahun. Brasil, tapi dia bukan satu siklus pemilu. Oleh karena itu, kita jangan bermimpi tahu-tahu pede (percaya diri) betul," ujarnya.

Dia pun menyebut banyak negara, seperti Australia dan Inggris, yang sudah membeli peralatan e-voting tapi urung menggunakannya. Hal itu karena tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penghitungan suara melalui teknologi rendah.

"Beberapa negara beli alat ada yang nggak jadi dipakai padahal sudah beli alatnya. Ada juga negara yang ramai berdebat, kemudian menggelar pemilu ulang. Ada yang sudah ini kekeliruan ya nggak jadi dipakai, hitung manual. Banyak negara Australia, Inggris, nggak percaya sama mesin," urai Hadar.

Pertimbangan lain, kata Hadar, biaya penggunaan teknologi e-voting juga tidak murah. Pada Pilpres 2014, tercatat ada sekitar 548.000 tempat pemungutan suara se-Indonesia. Jika ingin menerapkan sistem e-voting pada pemilu serentak nanti, penyelenggara harus menyediakan mesin sejumlah itu.

"Pertimbangan lain apakah mau menyewa atau membeli mesin. Selama ini saja sudah banyak surat suara yang rusak. Ini harus dikaji betul," pungkasnya. (ams/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads