Menko Polhukam Luhut B Pandjaitan siang tadi mengadakan pertemuan dengan perwakilan dari Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) '65. YPKP menyerahkan data soal titik-titik kuburan massal korban tragedi berdarah 1965.
"Kita nanti mau siapin tim untuk melihat beberapa kuburan yang dilaporkan di daerah Pati dan Wonosobo," ungkap Luhut di kantornya, Jl Medan Merdeka Barat, Jakpus, Senin (9/5/2016).
Meski nantinya data tersebut sudah diverifikasi kebenarannya, pemerintah disebut Luhut akan menjamin keamanan dari titik-titik lokasi kuburan massal itu. Ini akan dilakukan dalam waktu dekat. Tim ini juga akan melibatkan ahli termasuk dari sejarawan dan arkeolog.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski begitu, Luhut meminta agar permasalahan soal korban 65 diselesaikan satu per satu. Kepada YPKP, dia memberi warning agar tidak meminta banyak terlebih dahulu sebelum masalah-masalah dasar sudah clear. Termasuk soal rehabilitasi bagi korban-korban 65.
"Ya tidak gitu juga. Saya juga tadi sudah tegur. Jadi jangan begitu euforia. Jangan sampai ngomong detil-detil begitu. Ini enggak bener juga. Semua diharap bisa menahan dirilah. Mereka (baru) menyerahkan kuburan massal. Kita mau periksa," tuturnya.
Perwakilan YPKP menyatakan banyak korban 65 yang mendapat intimidasi dari aparat hingga saat ini. Luhut membantah hal tersebut.
"Dia bilang takut ada (intimidasi dari) kodam atau apalah, ndak ada masalah itu," tegas jenderal bintang empat tersebut.
Tak hanya itu, pemerintah menurut Luhut ingin memastikan total jumlah korban 65 sebenarnya. Dari data yang diberikan YPKP, dari 12 titik kuburan massal, ada setidaknya 13 ribu lebih korban 65.
"Saya ingin meluruskan dulu jumlah yang di mulut mereka itu sampai ratusan ribu (korbannya). Karena itu buat generasi kamu tidak bagus. Seperti bangsa ini, bangsa pembunuh. Kalau yang mati itu seribun dua ribu, empat ribu okelah. Tapi tidak angka spektakuler yang disebut tadi," beber Luhut.
Ketua YPKP 65 Bejo Untung usai pertemuan menyebut bahwa ada perbincangan dengan Luhut sempat soal rehabilitasi bagi korban tragedi 65. Namun belum ada keputusan soal hal ini.
"Tadi dia (Luhut) menyinggung persoalan 65 akan diselesaikan minimal ada rehabilitasi umum, mengembalikan masa sebelum 65 (bagi korban). Itu sebagai hasil rangkuman simposium, tapi itu belum disampaikan secara resmi," terang Bejo di lokasi yang sama.
"Ada tarik menarik yang sangat kuat antara kiri dan kanan, tetapi saya melihat ada semangat dari Menko Polhukam akan menyelesaikan kasus ini supaya tidak jadi beban sejarah. Yang penting ada tindak lanjut dari Menko Polhukam," imbuhnya.
Salah satu korban 65 lain yang juga mengapreasiasi langkah Luhut, Sutarno menantikan soal rehabilitasi umum itu. Sebab dia mengaku tidak pernah terlibat dalam tragedi 65 namun dikejar-kejar hingga ditahan belasan tahun lamanya.
"Kami kan ditahan 15 tahun dan diburu 9 tahun. Tapi atas inisiatif pak Menko Polhukam kami sambut baik, apalagi akan ditindaklanjut lagi soal kuburan massal. Saya berharap data tidak disalahgunakan. Maka kami minta jaminan. Pak Luhut menjamin. Kita lihat nanti buktinya," ujar Sutarno yang ikut bertemu dengan Luhut.
Pria asal Pekalongan tersebut berharap agar tindaklanjut Luhut dapat membantu korban 65 terbebas dari cap moral PKI. Apalagi mayoritas tapol dihukum tanpa ada pengadilan.
"Kita minta pelurusan sejarah dan rehabilitasi secara umum karena alami ditahan tanpa proses hukum. Supaya pemerintah ambil tindakan. Kita orang yang tidak bersalah, tidak berdosa, dirugikan sampai 15 tahun," kata pria berusia 73 tahun itu.
Di usia senjanya, Sutarno memiliki mimpi bahwa hidupnya bisa kembali 'bersih' seperti sebelum tahun 65. Termasuk soal pemenuhan hak-haknya.
"Harapan sebelum saya meninggal dunia, saya itu dulu PNS, tidak dipecat, tapi tidak menerima gaji, tidak juga menerima pensiun. Sampai sekarang," tutup Sutarno. (elz/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini