Dalam puisinya itu, Tuti bercerita seorang guru yang penasaran dengan makna keadilan. Ia lalu bertanya kepada dosen, kepada hakim, kepada pengacara, kepada terdakwa korupsi, kepada orang yang baru keluar dari penjara, kepada kiai hingga kepada istrinya sendiri.
"Kata hakim, keadilan ada dalam putusan," ujar Tuti pada acara yang digelar di aula Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Depok, Jawa Barat, Senin (25/1/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Keadilan adalah ketika orang-orang lain yang ikut konspirasi juga masuk penjara," kata Tuti membacakan sebait kalimat puisi tentang keadilan seorang terdakwa korupsi.
"Keadilan adalah ketika saya keluar tidak ada yang menanyakan mengapa saya dipenjara," demikian kata sang narapidana.
Hadirin dibuat terpukau dengan pembacaan puisi selama 10 menit itu. Di akhir acara, Harkristuti yang mengenakan batik warna hijau itu mendapat testimoni satu per satu dari koleganya. Adapun guru besar Universitas Sumatera Utara (USU) yang juga mantan hakim agung Prof Rehngena Purba, memberikan ulos warna merah muda.
"Besok-besok bisa pindah ke Fakultas Sastra ya Bu," ujar dosen FH UI Gandjar Laksmana yang didapuk menjadi MC. Seluruh tamu pun tersenyum dan tertawa.
Pembacaan puisi ini adalah bagian dari rentetan acara peluncuran buku 'Demi Keadilan: Antologi Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana'. Buku ini menandai usia Harkristuti yang menapak 6 dasawarsa hari ini. Hadir dalam kesempatan itu Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan tiga mantan Menteri Kehakiman yaitu Prof Muladi, Andi Mattalatta dan Amir Syamsuddin. Hadir pula para kolega seperti hakim agung Salman Luthan, mantan hakim agung Vallerina JL Kriekhof, mantan dekan FH UI Mardjono Reksodiputro, advokat Luhut Pangaribuan, advokat Maqdir Ismail, ahli pencucian uang Yenti Garnasih, dan jajaran guru besar FH UI seperti Prof Hikmahanto Juwana, Prof Satya Arinanto dan Prof Erman Rajagukguk.
Buku tersebut merupakan kumpulan 30 catatan lepas kolega Tuti tentang hukum pidana terkini. Tuti menulis satu tulisan berjudul 'Penelitian Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana'. Salah satu penyumbang tulisan yang juga Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat Reda Manthovani menulis sebuah tulisan tentang penyadapan yang berjudul 'Penyadapan dalam Sistem Hukum Indonesia'. Menurut Reda, saat ini aturan penyadapan tersebar dalam 16 UU seperti UU KPK, UU Narkotika, UU Komisi Yudisial (KY), UU Intelijen, UU Telekomunikasi, UU Advokat, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang hingga UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Karena banyaknya aturan tersebut mengatur perihal yang sama, maka menurut Reda perlu dibuat aturan sendiri tentang penyadapan.
"Pluralitas aturan tindakan penyadapan baik untuk kepentingan intelijen dan penegakan hukum (16 UU, 1 PP, 2 Permen dan 1 SK Kapolri) akan menimbulkan berbagai perbedaan penafsiran berdasarkan egosektoral sehingga menimbulkan ketidaksinkronan antara satu perundang-undangan dengan peraturan perundangan lainnya," kata Reda di halaman 459.
"Hal tersebut akan menimbulkan inconsistency, uncertainity dan incomprehensif dalam menerapkan hukum, sehingga perlu dibuat suatu aturan tentang tindak penyadapan yang tergabung dengan peraturan yang mengatur hukum acara pidana sehingga seluruh bentuk upaya paksa diatur dalam satu aturan yang sama yaitu dalam hukum acara pidana," sambung Reda. (asp/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini