"Bila dalam proses pembentukan sebuah peraturan perundang-undangan terdapat resistensi publik yang berpotensi menimbulkan permasalahan baru di tengah masyarakat, maka F-PD berpandangan sewajarnya pasal tersebut dapat dipertimbangkan kembali," ujar Ketua Komisi X DPR dari F-PD Teuku Riefky Harsya kepada wartawan, Senin (5/10/2015).
Riefky mengatakan, sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, salah satu yang menjadi hal penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah 'asas dapat dilaksanakan' dan 'terpenuhinya aspek efektifitas secara sosiologis'. Jika hal-hal itu tak terpenuhi, selayaknya sebuah aturan dikaji ulang.
"F-PD memahami bahwa 'kebudayaan' bangsa Indonesia mempunyai makna dan cakupanĀ yang sangat luas, sehingga jika RUU Kebudayaan mengatur hal-hal yang detil, justru akan mengkerdilkan makna kebudayaan itu sendiri," ujarnya.
Wakil rakyat asal Aceh ini mengatakan Undang-Undang sebaiknya dapat digunakan dalam jangka waktu yang relatif panjang, sehingga harus dihindari memasukan hal-hal detail dan teknis ke dalam batang tubuh.
"Hal detail dan tehnis bisa dicantumkan pada Peraturan turunan dari Undang-Undang tersebut sehingga akan lebih fleksibel danĀ dapat disesuaikan dengan kondisi kebutuhan pada eranya," ulasnya.
Sebelumnya, Riefky juga sudah bicara soal pasal kretek di RUU Kebudayaan. Dia mengatakan pasal itu bukan selundupan dan masih bisa dihapus.
"Jika penghapusan substansi "kretek tradisional" dalam RUU Kebudayaan menjadi kesepakatan, maka Pimpinan Komisi X DPR RI akan berkoordinasi dengan alat kelengkapan dewan lainnya terkait mekanisme penghapusan pasal," ujarnya. (tor/van)