Adik Obama Maya Soetoro Bicara soal Generasi Muda Multikultur

Laporan dari AS

Adik Obama Maya Soetoro Bicara soal Generasi Muda Multikultur

Shohib Masykur - detikNews
Rabu, 17 Jun 2015 16:30 WIB
(Foto: Shohib Masykur/detikcom)
Washington - Anak-anak keturunan Indonesia yang lahir dan/atau besar di luar negeri tumbuh di bawah pengaruh dua kebudayaan yang berbeda. Mereka menjadi generasi muda multikultur dengan warisan multi-identitas.

Keterpaparan dengan dua budaya berbeda itu membuat mereka dihadapkan pada kompleksitas tersendiri, selain juga memberi mereka keuntungan tersendiri.

Maya Soetoro-Ng, adik tiri Presiden AS Barack Obama yang berayahkan orang Indonesia, berbincang mengenai kompleksitas dan keuntungan menjadi generasi muda multikultur dalam diskusi bertajuk Weaving Bilingualism and Biculturalism into Personal Identities.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Maya, adalah penting bagi orang tua untuk membekali anaknya dengan budaya setempat sembari tetap mempertahankan budaya asal, karena dari situlah anak-anak tersebut dapat tumbuh berkembang tanpa kehilangan akarnya.

β€œKita perlu membekali anak-anak kita supaya mereka memahami akar mereka, sekaligus menyediakan mereka sayap untuk terbang ke gunung yang mereka pilih. Di saat yang sama, kita juga harus mengakui kompleksitas yang mereka hadapi yang sesungguhnya merupakan berkah untuk kita semua. Dunia saat ini adalah dunia yang tidak bisa ditinggali hanya dengan satu bahasa dan satu perspektif,” kata Maya.

Diskusi tersebut diselenggarakan oleh Rumah Indonesia, sebuah lembaga non-profit yang mempunyai misi melestarikan budaya dan bahasa Indonesia di lingkungan generasi muda Indonesia di Amerika, dengan dukungan KBRI Washington DC dan bertempat di KBRI Washington DC, Senin (15/6/2015).

Menurut Maya, orang muda memiliki kemampuan tersendiri untuk melalui kesulitan yang mereka hadapi sebagai akibat dari kondisi multikultur yang melingkupi mereka.

β€œOrang muda lebih kuat ketimbang yang mereka kira, dan mungkin lebih kuat ketimbang yang kita kira, karena mereka punya kemampuan untuk sembuh dan beranjak dari masa lalu serta membangun ikatan bersama,” kata perempuan kelahiran Jakarta yang pernah tinggal lama di Indonesia dan fasih berbahasa Indonesia ini.

Generasi multikultur mewarisi pemikiran terbuka yang mampu melihat segala sesuatu dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Hal itu membawa manfaat bagi mereka pribadi maupun bagi masyarakat secara umum. Dalam dunia akademis, misalnya, perdebatan adalah hal yang niscaya, di mana sebuah ide ditelorkan untuk ditentang, diperdebatkan, dan dipertahankan dalam proses dialektis.

β€œBagi mereka yang tumbuh di dua dunia berbeda, proses ini adalah hal yang alamiah. Dan kita perlu mengajarkan kepada orang lain bagaimana melakukannya secara efektif. Kita harus bangga bahwa kita bisa menjadi saluran bagi kompleksitas ini,” kata Maya.

Selain Maya, diskusi diramaikan oleh anak-anak muda keturunan Indonesia yang berbagi pandangan dan pengalaman mengenai bagaimana tumbuh di dalam dua kultur yang berbedaβ€”Indonesia dan Amerika.

Malik Kadir, yang lahir dari kedua orang tua Indonesia, mengakuΒ  sangat beruntung dengan tradisi Indonesia yang memelihara hubungan dengan keluarga besar (extended family).

β€œSaya merasa sangat beruntung karena punya keluarga besar di sini. Saya dikelilingi oleh saudara kandung dan sepupu-sepupu saya. Tumbuh di Washington DC di mana banyak orang Indonesia tinggal memberi saya kesempatan untuk bertemu dengan orang dari satu latar belakang,” ucapnya.

Dira Ardelia Djaya, mahasiswi Tufts University yang datang ke Amerika bersama keluarganya pada usia 6 tahun, mengaku dirinya tetap merupakan orang Indonesia meski telah lama tinggal di Amerika. β€œSetiap kali ditanya dari mana, saya selalu bilang saya dari Indonesia,” kata Dira.

Baginya, persentuhannya dengan suatu konsep yang abstrak seperti Indonesia berlangsung lewat persentuhannya dengan hal-hal sederhana yang konkret, seperti musik. β€œSaya datang ke KBRI untuk merayakan lebaran, latihan Paskibraka, tari piring, tari Bali, gemlan, angklung, untuk menjaga keindonesiaan saya,” akunya.

Sementara Ariel Santikarma, putri dari seorang ibu warga Amerika dan ayah warga Indonesia, merasakan dilema yang lebih lantaran penampilan fisiknya yang berbeda. Sebagai keturunan campuran, dia tidak begitu menyerupai orang kulit putih maupun orang Asia.

β€œDi usia tujuh tahun, saya tidak tahu mengapa tapi seolah-olah saya harus malu karena saya aneh. Orang lain punya mata biru dengan kedua orang tua yang lancar berbahasa Inggris dan bisa mengisi formulir sekolah dengan benar,” kata Ariel.

Sementara di Indonesia pun dia merasa sebagai orang asing. β€œSaat usia 13 tahun, saya pulang dari suatu upacara, dan saya lihat orang-orang di jalan memanggil β€˜bule bule’,” ujarnya. (try/try)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads