Kasus Lion Air: Safety First, Service Nomor Berapa?

Kasus Lion Air: Safety First, Service Nomor Berapa?

Nograhany Widhi Koesmawardhani - detikNews
Minggu, 22 Feb 2015 16:47 WIB
(Foto: Rachman Haryanto/detikcom)
Jakarta - Dalam dunia transportasi, utamanya penerbangan, dikenal slogan safety first alias utamakan keselamatan. Nah, dalam kasus Lion Air yang delay parah pada Rabu-Jumat (18-20/2/2015) lalu, service alias pelayanan ditempatkan nomor berapa? Haruskah safety dan service bertolak belakang?

"Nggak bisa begitu. Keselamatan dan pelayanan itu satu paket. Maskapai penerbangan itu teken kontraknya keselamatan dan pelayanan, dua itu harus diketahui haknya oleh konsumen. Lha kalau (manajemen maskapai) nggak bisa ditemui, mau mengajukan hak ke mana? Sekarang komplain aja nggak bisa," jelas Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit saat berbincang dengan detikcom, Minggu (22/2/2015).

Lantas, apakah wacana gugatan konsumen ke pengadilan hingga boikot membeli tiket Lion Air cukup bijak atau cuma emosi sesaat, Danang mengatakan memang masyarakat memiliki hak menggugat. Namun, masalah delay Lion Air ini bisa terjadi tidak semata-mata Lion Air saja.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau secara hukum masyarakat punya hak (menggugat ke pengadilan). Bila mengajukan class action ke Lion Air, dia juga pasti akan tanggung gugat bawa bandara dan regulator," jelas master bidang transportasi dari Institute for Transport Studies (ITS) di Leeds University, Inggris, ini.

Danang mengatakan, masalah delay parah Lion Air ini tak semata-mata karena kesalahan Lion Air, melainkan juga ada kesalahan dari 2 pihak lain, yakni pengelola bandara dan regulator (Kemenhub).

"Masalahnya sebenarnya tergantung 3 pihak, Lion, operator bandara, ketiga, pemerintah sendiri. Sehingga tak mudah Lion Air disalahkan begitu saja, bisa saja dia katakan kapasitas bandara tak memenuhi, apakah bandara menyediakan kapasitas cukup, ada jaminan dapat layanan apron dan taxying. Sisi regulator, mengenai izin penerbangan," ujar doktor bidang transportasi dari the Institute for Transport Planning and Engineering of Vienna University of Technology, Austria, ini.

Danang menambahkan, Lion Air memang perintis Low Cost Carrier (LCC) di Indonesia dengan ekspansi armada pesawat yang luar biasa. Kemenhub sebagai regulator harusnya melihat apakah ekspansi Lion Air itu didukung penyediaan infrastruktur bandara, apakah Kemenhub cukup memberikan peringatan pada Lion Air untuk bisa menyesuaikan kapasitas bandara, juga melihat kemampuan Lion dalam operasi angkutan udara.

"Kalau kita melihat dari awal, Lion itu kan pionir LCC, seharusnya cukup ketat diawasi pemerintah, dalam hal pengoperasian standar keselamatan. Mereka seringkali tak berpihak pada kepentingan masyarakat," jelas dia.

MTI juga banyak menerima keluhan dari masyarakat mengenai layanan Lion Air. Sebenarnya, imbuh Danang, pada tahun 2007 lalu, MTI membuat riset dan merekomendasikan Kemenhub untuk menambah safety inspector yang dinilai masih kurang, kemudian mengaudit keuangan maskapai. Keuangan maskapai belakangan merujuk pada kemampuan maskapai membayarkan dana refund dan kompensasi pada penumpang.

"Kalau saran baik yang diberikan itu dijalankan satu per satu, akan bisa memberikan kepercayaan tinggi. Dulu belum dilaksanakan, tapi sekarang harapannya iya (dilaksanakan). Tapi ya kembali lagi komitmen pada yang bersangkutan, Pak Menhub. Semuanya kembali pada Menteri (Perhubungan) dan Kementerian sebagai pembina tertinggi otoritas angkutan udara," jelas akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.

(nwk/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads