Pelajar itu adalah HJP (16), PRA (17), AEM (17), MRPA (17) dan PC (17), diskors pihak sekolah selama 2 bulan karena diduga melakukan tindak kekerasan kepada alumni bernama E pada tanggal 30 Januari lalu. Waktu skorsing yang diberikan sekolah yaitu dari tanggal 11 Februari hingga 9 Maret, dan dilanjutkan lagi dari tanggal 16 Maret hingga 13 April. Mereka hanya diperbolehkan masuk tanggal 10 hingga 15 Maret.
"Anak kami sebentar lagi mau UN, kalau diskors seperti itu. Kalau seminggu nggak masalah, tapi kalau seperti ini merusak generasi muda. Kalau nilai hancur apa sekolah mau tanggung jawab?" ujar Ibunda dari MRPA kepada wartawan, Kamis (5/2/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Katanya mereka mau mencari win-win solution, tapi ternyata menskorsing anak-anak kami dalam waktu yang lama. Harusnya diberi surat peringatan dulu, jangan langsung menskorsing," kata sang ibu.
Merasa tidak mendapatkan keadilan dalam kasus ini, para orangtua siswa akhirnya melaporkan kasus ini ke Polda Metro Jaya. Di sana mereka membuat laporan dengan nomor LP.TBL/466/II/2015/PMJ/Ditreskrimum. Dengan terlapor Retno Listyarti (Kepala Sekolah SMAN 3 Setiabudi) atas dugaan melanggar Pasal 77 UU nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Laporan kedua dengan nomor laporan LP.TBL/467/II/2015/PMJ/Ditreskrimum dengan terlapor E yang diduga melanggar pasal 82 UU nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Saat dikonfirmasi, Kepsek SMAN 3 Setiabudi, Retno Listyarti memilih untuk tidak berkomentar.
"Kami enggak bisa memberikan statemen dulu," ujar Retno terpisah.
(rni/vid)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini