Banyak versi cerita masyarakat tentang Kota Surabaya. Namun, di Pesarean Ki Ageng Pengging II di Jalan Ngagel 87 Surabaya terdapat Makam Mbah Suro Kuning dan Mbah Boyo.
Tak banyak yang tahu soal Makam Mbah Suro Kuning dan Mbah Boyo. Mbah Suro Kuning dan Mbah Boyo sebagai panglima dari Ki Ageng Pengging II membabat alas Ujung Galuh.
Juru Kunci Makam Ki Ageng Pengging II, Andik menceritakan, nama Surabaya diambil dari nama Mbah Suro Kuning dan Mbah Boyo. Sebab pada zaman itu, alas Ujung Galuh dibabat dan dijadikan pedesaan kecil.
"Babat alas, jadi pedesaan Ujung Galuh. Lalu mengambil nama Eyang Suro Kuning dan Eyang Boyo," kata Andik kepada detikcom, Selasa (23/11/2021).
"Surabaya kan itung-itung barusan. Cikal bakalnya Surabaya ya Eyang Suro Kuning dan Eyang Boyo," imbuhnya.
Mbah Suro Kuning dan Mbah Boyo merupakan panglima kepercayaan Ki Ageng Pengging, ayah dari Joko Tingkir. Sehingga Mbah Suro Kuning dan Mbah Boyo diutus untuk membabat alas Ujung Galuh, dan dijadikan pedesaan kecil.
"Panglima babat alasnya di sini. Tangan kepercayaan, tangan yang dipercaya Ki Ageng Pengging untuk babat alas Ujung Galuh," jelasnya.
Namun, para peziarah yang datang tak banyak yang terfokus pada dua makam tersebut. Sebab, kebanyakan peziarah lebih mengenal sosok Ki Ageng Pengging.
Sementara secara etimologi, Surabaya berasal dari kata Sura ata Suro dan Baya atau Boyo, dari Bahasa Jawa. Jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia, Suro artinya ikan hiu, sedang Boyo adalah buaya.
Menurut cerita yang berkembang, dua hewan itu paling kuat yang juga menjadi simbol Kota Surabaya sampai saat ini. Pendapat lain mengatakan, nama Surabaya diambil dari istilah Sura Ing Baya, yang berarti 'berani menghadapi bahaya'.