Rakai yang juga aktif di Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) mengatakan bahwa bangunan di kawasan alun-alun bundar saat itu merupakan satu kesatuan, yang menjadi bouwplan II yakni pembangunan Kota Malang oleh pemerintah kolonial Belanda.
"Dari situ bouwplan Belanda mulai menata tata ruang kota malang, dia bentuk bouwplan 1, bouwplan 2, bouwplan 3, dia buat bundaran tapi belum ada tugunya kayak sekarang, hanya ada air mancurnya, terus balai kota, sebelahnya balai kota memang taman, kirinya balai kota itu taman, tapi belum ada jembatan, termasuk juga Splendid Inn, yang sekarang Wisma Tumapel itu," terangnya.
Barulah usai rangkaian perang mempertahankan kemerdekaan, baik melalui agresi militer I dan II, pemerintah Indonesia kembali membangun ulang sejumlah bangunan peninggalan tersebut termasuk Balai Kota, Wisma Tumapel, sekolah, dan alun-alun bundar.
"Ketika Bung Karno kembali mendirikan Balai Kota Malang, bundaran pas tengahnya dikasih tugu itu. Jadi tugu itu bukan ikon Kota Malang, tapi tugu simbol kemerdekaan Indonesia," katanya.
Usai dibangun kembali, sejumlah bangunan peninggalan Belanda itu difungsikan berbeda.
Balai Kota kembali digunakan sebagai pusat pemerintahan. Namun Wisma Tumapel yang dulunya penginapan tak berpenghuni dan terbengkalai. Selanjutnya wisma ini akhirnya dibeli dan dengan harga yang murah oleh IKIP Malang yang kini menjadi Universitas Negeri Malang (UM).
Sempat dipergunakan sebagai gedung perkuliahan sampai dengan rumah dinas dosen dan guru besar. Dan saat ini, UM berencana memanfaatkan Wisma Tumapel sebagai penginapan kembali, dengan nama Graha Tumapel.
(iwd/iwd)