Edi ingat betul, semua peralatan menjahit sepatu diberi kawannya itu. Dia mulai berani mangkal sendiri menawarkan jasa menjahit sepatu sejak tiga bulan lalu. Kawannya bahkan tak keberatan, lokasi mangkal mereka berdekatan. Karena menurut kawannya, jatah rezeki tiap orang sudah ditakar dan tak mungkin salah alamat.
"Tiga bulan ini saya sudah mangkal di sini. Alhamdulillah, rezekinya gak mesti sama tiap hari. Kadang dapat Rp 60 ribu kalau sepi. Pas ramai pernah dapat Rp 100 ribu," ungkapnya.
Kualitas jahitan tangan Edi sangat rapi. Dia juga bekerja cepat, sehingga orang yang butuh tenaganya membetulkan sepatu yang jebol, bisa menunggu. Sekitar 10 menit, sepasang sepatu sudah terjahit solnya dengan rapi. Edi mematok tarif hanya Rp 10 ribu per pasangnya.
Jalan hidup Edi berliku. Edi sekarang hidup dengan seorang anak prianya, menumpang di rumah saudara mereka di Kota Blitar. Sadar sebagai pendatang, Edi tidak mungkin mendapat bantuan selama Pandemi COVID-19. Namun dalam pikirannya, hidup itu harus diperjuangkan sendiri.
"Walaupun saya hidup susah, saya tidak pernah menggantungkan bantuan orang lain. Ini hidup pilihan saya, harus saya perjuangkan sendiri. Asal gelem obah pasti iso mamah," pungkasnya.
(sun/bdh)