Prosesi upacara tersebut digelar Satu tahun sekali, pada hari Jumat, bulan Sura dalam penanggalan Jawa. Rangkaian acara dimulai dari kirab reog kendang dari dan air jamasan dari pintu gerbang.
Selanjutnya, tombak Kiai Upas dikeluarkan dari ruang penyimpanan, untuk selanjutnya dilakukan upacara jamasan. Untuk mencuci pusaka itu, panitia menyiapkan air suci yang diambil dari sejumlah mata air di Tulungagung.
"Kegiatan jamasan ini tidak bisa ditunda waktunya, dikarenakan kegiatan prosesi ini adalah kegiatan budaya dari leluhur yang kita laksanakan secara turun-temurun," kata Bupati Tulungagung Maryoto Birowo kepada wartawan, Jumat (20/8/2021).
Menurut Maryoto, pada masa pandemi ini, agenda jamasan dilakukan lebih sederhana dengan undangan yang sangat terbatas. Kirab yang biasanya dilakukan mulai dari jalan raya, kini hanya dilakukan dari pintu gerbang.
Tak hanya itu, jumlah tamu undangan yang hadir juga dilakukan pembatasan dan diwajibkan menggunakan masker, selama prosesi jamaan berlangsung.
Maryoto menjelaskan Tombak Kiai Upas merupakan pusaka andalan Tulungagung. Konon senjata tersebut dimanfaatkan oleh Bupati Tulungagung pada masa kolonial sebagai komando untuk menghalau penjajah.
"Pusaka Kanjeng Kiai Upas telah terbukti membentengi Kabupaten Tulungagung dan masyarakatnya, sebagaimana dikisahkan dalam sejarah, bahwa tentara Belanda tidak dapat memasuki wilayah Tulungagung," jelasnya.
Bupati berharap dengan pelestarian upacara adat jamasan ini, Tuhan senantiasa memberikan perlindungan bagi Tulungagung dan masyarakatnya dari marabahaya dan bencana.
"Untuk itu saya mengajak kepada masyarakat untuk berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar Tulungagung tetap kondusif, ayem tentrem mulya lan tinata, serta terhindar dari mara bahaya," jelasnya. (iwd/iwd)