Kata jangan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti larangan. Namun dalam Bahasa Jawa Baru dan di dalam konteks kuliner menunjuk pada sayur. Khususnya sayur yang berkuah. Kata 'janganan' berarti sayur mayur. Ada bermacam jangan, seperti jangan bening, jangan lodeh, jangan tahu, jangan blendrang dan lain-lain.
Menurut Sejarawan M Dwi Cahyono, istilah 'jangan' bukan hanya terdapat dalam bahasa Jawa Baru. Namun telah ditemukan di dalam Bahasa Jawa Tengahan, dalam arti sayur dimakan dengan nasi, sayur mayur, termasuk juga daging atau ikan (Zoetmulder, 1995: 412).
"Istilah ini antara lain kedapatan di dalam kakawin Sutasoma (22.6-7, 95.1). Bahwa kata 'jangan' menunjuk pada kuliner tidak diragukan lagi, karena pada kidung Sri Tanjung (1.34), istilah ini disebut bersama dengan kuliner-kuliner lainnya. Seperti pindang, dimpa, lawan, jangan kulup. Kata 'kulup' pada sebutan 'jangan kulup' menunjuk bahan pembuatnya berupa sayur-sayuran. Sayuran yang dinamai dengan 'jangan' ini dicirikan oleh adanya kuah yang diberi bumbu," papar Dosen Sejarah Universitas Negeri Malang ini, Minggu (8/8/2021).
![]() |
Sayur lodeh adalah masakan bersantan dengan bermacam varian isian. Seperti kacang panjang, terong dan tewel atau nangka muda. Sebagai penyedap rasa, masakan ini biasanya diberi daun salam dan tempe busuk. Aroma tempe yang telah keluar spora kehitaman itu sangat pekat, menguatkan rasa lodeh yang sesungguhnya.
Untuk bumbunya, ada yang menambahkan kemiri, kunyit (kunir), tempe semangit (bosok), terasi, daun salam, daun jeruk purut dan lain sebagainya. Ada bumbuan yang digerus, namun ada pula yang diiris-iris dan dimasukkan ke dalam kuah (bumbu cemplung). Bumbu pelengkapnya, berdasarkan kepada sayur apa yang dimasak. Untuk lodeh tewel (nangka muda) misalnya, ditambahkan daun salam, tapi bukan untuk lodeh terong,
Sayur berkuah santan kental ini paling nikmat disandingkan dengan lauk iwak gerih (ikan asin).
Dwi menyebut, kesejarahan jangan lodeh belum terang benar. Rekonstruksi historis yang dicoba terhadap jangan lodeh ini, masih kurang fakta pendukungnya.
"Kalau pun telah ada beberapa pendapat, itu baru opini yang perlu lebih dikoreksi akurasinya. Misalnya, pendapat bahwa jangan lodeh telah ada semenjak abad ke-10 Masehi. Konon, sayur lodeh membantu melewati masa masa sulit selama eksplosi dahsyat Gunung Merapi tahun 1006 Masehi," tuturnya.
Dwi menambahkan, ada pula pendapat Fadly Rahman, yang memperkirakan tradisi memasak sayur lodeh sudah dilakukan pada abad ke-16. Masa setelah Spanyol dan Portugis perkenalkan kacang panjang ke Jawa. Sementara yang lain meyakini, bahwa sayur lodeh diperkenalkan kembali pada akhir abad ke-19. Yaitu ketika Yogyakarta menjadi jantung Kebangkitan Nasional Indonesia. Periode di mana banyak mitos daerah ditemukan dan dirayakan.
Terlepas adanya silang siurnya opini historis perihal jangan lodeh, Dwi menilai, jangan lodeh telah menjadi tradisi. Telah meniti perjalanan panjang sejarahnya.
Sebagai istilah, kata 'lodeh' tak ada dalam Bahasa Jawa Kuno maupun dalam Bahasa Jawa Tengahan. Dan baru hadir dalam Bahasa Jawa Baru. Oleh karena itu, sebagai istilah, paling cepat digunakan pada abad ke-17 Masehi.
"Namun, bukan berarti bahwa sayur ini belum ada pada masa sebelumnya. Bisa jadi telah ada, namun tak disebut dengan 'jangan lodeh'. Jika menilik informasi susastra Kidung Tanjung (1.34), yang disurat pada masa Majapahit, di dalamnya disebutkan tentang 'jangan kulup'. Yaitu sayuran yang menggunakan bahan dedaunan serta bagian lain dari tanaman, bisa jadi inilah sebutan lamanya, sebelum bernama jangan lodeh," ungkap pria yang juga berprofesi sebagai arkeolog ini.
Dwi juga memaparkan, keberadaan jangan lodeh pun memasuki ranah mistis. Memasuki abad ke-20, tepatnya pada tahun 1931, Sultan Hamengkubuwono VIII, ketika wabah pes membencana hingga lebih dari dua dekade di Jawa. Sultan memerintahkan kepada warganya untuk memasak sayur lodeh dan berdiam diri di rumah selama 49 hari. Kemudian wabah pun berakhir.
"Catatan Anthony, Scott dalam BBC Indonesia (14 Maret 2021) berjudul 'Sayur Lodeh, Sejarah Hidangan Jawa Penghalau Wabah' menyatakan bahwa sayur lodeh dimasak untuk menanggapi krisis pada tahun 1876, 1892, 1946, 1948 dan 1951. Tak hanya ketika berlangsung wabah, sayur lodeh pun diyakini punya daya 'magis penolak dan pelindung (protectoric magic)' yaitu 'sayur tolak balak'," imbuh Dwi.
Dalam ritual hajatan (gawe), misal awal prosesi acara nikah, lanjut dia, salah satu penganan yang dihidangkan tidak jarang berupa sayur lodeh, khususnya 'lodeh pitung rupo (lodeh tujuh rupa)'. Sesuai dengan sebutannya, jangan lodeh ini terdiri atas tujuh macam bahan, yang masing-masing memiliki makna filosofi yang dihubungkan dengan wabah penyakit.
Dari kutipan buku karya Switzy Subandar dalam tulisannya yang diberi judul 'Lodeh Tujuh Rupa Jadi Tolak Bala ala Yogyakarta", setiap bahan masakan mempunyai filosofi mendalam yang sarat pesan moral.
Seperti kluwih, kaluwargo luwihono anggone gulowentah gatekne. Arti bebas dalam Bahasa Indonesia, keluarga dilebihkan dalam memberi nasihat dan perhatian. Kemudian cang gleyor atau kacang panjang, cancangen awakmu ojo lungo-lungo. Ikat badanmu, jangan bepergian.
Lalu terong, terusno anggone manembah Gusti, ojo datnyeng mung yen iling tok . Artinya, lanjutkan serta ditingkatkan dalam beribadah, janganlah hanya ketika ingat saja. Ada kulit melinjo, ojo mung ngerti njobone, ning kudu reti njerone babakan pagebluk. Jagan hanya memahami akibatnya, tapi harus pula memahami secara mendalam penyebab wabah. Waluh, uwalono ilangono ngeluh gersulo. Hilangkan keluh serta galau dan harus tetap bersemangat.
Godong so, golong gilig donga kumpul wong sholeh sugeh kaweruh babak-an agomo lan pagebluk. Bersatu padu berdoa bersama orang yang saleh, pandai soal agama, juga wabah penyakit. Dan tempe, temenono olehe dedepe nyuwun pitulungane Gusti Allah. Fokus memohon pertolongan Tuhan.
"Sebenarnya tak ada yang istimewa dari 'sayur lodeh tujuh rupa' ini. alahan bersahaja dan mudah dibuat. Namun, dibalik kebersahajaannya, terdapat manfaat lebih dari jangan lodeh. Salah satu bumbunya, yakni lengkuas (laos), memiliki khasiat anti-inflamasi (peradangan), yaitu mekanisme tubuh dalam melindungi diri dari infeksi mikroorganisme asing, seperti virus, bakteri, dan jamur. Demikianlah pula ada 'manfaat obat' dari bumbuannya, seperti daun salam, daun jeruk purut, serai," beber Dwi.
Disamping itu, imbuhnya, kondisi lahannya yang subur memungkinkan untuk tumbuh berkembang aneka tanaman. Menjadikan jangan lodeh yang luwes dalam hal pemilihan bahannya, mudah dibuat, dan murah ini cocok dijadikan makanan di masa-masa sulit seperti ketika penyakit mewabah. Khususnya bagi warga kelas menengah ke bawah. Aneka tanaman sebagai bahan bagi jangan lodeh itu memungkinkan untuk dikonsumsi dalam kondisi segar.
Menurut Dwi, kalau pun lantaran adanya mitos itu menjadikan banyak orang memasak jangan lodeh, dan akibatnya permintaan akan bahan-bahan untuk jangan lodeh meningkat dan harganya pun sedikit meningkat, itu merupakan hal baik. Hitung-hitung menambah pendapatan petani dan penjual sayuran, yang adalah warga kelas menengah ke bawah.
"Masak yang diuntungkan dari kondisi pandemi hanya perusahaan dan penjual obat, alat kesehatan makanan atau minuman suplemen pabrikan saja. Wong cilik pun musti pula terbantukan," pungkasnya.