Ada baliho yang menuliskan nama lengkapnya 'Abdul Muhaimin Iskandar'. Ada pula yang menuliskan nama populernya 'Muhaimin Iskandar'. Ada juga yang menuliskan sebutannya 'Gus Imin atau Gus Ami'. Ami di sini merupakan singkatan dari Abdul Muhaimin Iskandar.
Lalu ada juga yang menuliskan 'Gus Muhaimin'. Dan yang terakhir ada baliho yang menuliskan panggilan akrab 'Cak Imin'.
Padahal, beberapa waktu lalu, Muhaimin Iskandar biasanya ditulis sebagai Gus Ami setelah sebelumnya kerap disapa Cak Imin.
![]() |
Pengamat politik menilai penyebutan yang berubah-ubah ini menunjukkan Muhaimin Iskandar yang masih bingung ingin dikenal sebagai 'apa' dan 'siapa', sehingga belum menemukan political name calling atau panggilan politik yang pas.
"Pergantian penyebutan berulangkali tersebut menurut saya menunjukkan Muhaimin masih belum menemukan positioning-nya yang pas. Lebih jauh lagi sepertinya beliau belum tahu ingin dikenal sebagai 'apa' dan sebagai 'siapa' oleh publik. Sehingga inkonsistensi political name calling itu muncul," kata pengamat politik asal Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Mochtar W Utomo kepada detikcom di Surabaya, Kamis (5/8/2021).
Mochtar menyayangkan pergantian panggilan politik ini. Menurutnya, jika ingin lebih dikenal masyarakat, branding atau penyebutan itu merupakan salah satu hal yang penting.
![]() |
"Padahal dalam khazanah marketing politik dan komunikasi politik, branding itu penting, political name calling itu penting, karena dari panggilan ini lah publik mengenal seorang sosok," papar Mochtar.
Dari penyebutan nama ini lah, Mochtar menyebut, publik akan menyimpan informasi, kode dan makna yang dapat dikonstruksi dari sosok tersebut. Hingga pada gilirannya, informasi yang sudah dikonstruksi akan didistribusikan kepada yang lain.
"Dari sinilah proses komunikasi dan marketing politik, distribusi pesan, pengetahuan, sikap dan tindakan terjadi. Dari sinilah bangunan popularitas, akseptabilitas hingga elektabilitas dibangun," pungkas Mochtar. (hil/iwd)