Seperti pantauan di rumah-rumah warga di RT 3 RW 3 ini. Hampir semua rumah di jalan desa itu, terpajang boneka kayu di depan rumah. Bagian kepala dari batok kelapa atau kulit kelapa kering. Kemudian digambari menggunakan kapur putih atau cat, bentuk mata, hidung dan mulut. Lalu bagian bawah, hanya dua kayu peyangga disilangkan. Boneka ini kemudian diberi baju atasan, bawahan atau longdres, diberi topi atau kerudung. Bahkan ada juga yang dipakaikan masker.
Beberapa warga di desa itu mengaku, mereka serempak memajang boneka kayu sejak sepekan lalu. Saat itu, ada enam rumah yang penghuninya terkonfirmasi positif COVID-19. Bahkan, dua di antaranya akhirnya meninggal dunia.
"Ya sejak ada yang meninggal kena Corona itu, kami bareng-bareng memajang boneka kayu itu. Ini dari saran sesepuh di sini, kalau zaman dulu sebagai tolak balak saat pagebluk. Jadi jin syetan priprayangan itu pada pergi semua," papar Imam Juned (54) kepada detikcom, Kamis (5/8/2021).
Menurut Imam, sejak boneka kayu itu dipasang di hampir semua rumah warga, kesehatan warga desa yang sakit semakin membaik. Tak ada lagi warga yang meninggal, entah karena terpapar wabah atau sebab lainnya.
Tak sedikit kaum milenial yang ikutan memajang boneka kayu seperti itu di rumah mereka. Seperti yang dilakukan Asmaul (30) yang meyakini, jika tradisi dari leluhur itu masih relevan diterapkan zaman sekarang. Sebagai bentuk kearifan lokal yang dipegang sebagai tradisi dan masih banyak yang meyakini kebenarannya.
Tak hanya memajang boneka kayu di depan rumah. Upaya tolak balak warga desa ini juga tampak dengan sengaja membakar kayu sebagai perapian di depan rumah mereka untuk menghangatkan badan. Kalau dalam istilah Jawa, Asmaul menyebutnya dengan diang. Karena sejak warga kampungnya banyak yang terinfeksi Corona, banyak pria dan pemuda di kampung itu berjaga di luar rumah untuk mengantisipasi jika ada warga dalam kondisi kritis perlu segera mendapat pertolongan.
"Diang ini juga tradisi adat istiadat mbak. Api itu sumber kehidupan, jadi dengan api yang terus menyala di malam hari, itu juga diyakini tolak balak energi negatif yang mau masuk kampung ini," ungkapnya.
![]() |
Asmaul mengaku, selama hidupnya, baru kali ini dia menyaksikan dan melakukan adat tradisi tolak balak dilakukan warga kampungnya. Ini sebagai tanda, bahwa pandemi yang terjadi saat ini telah membuat kekhawatiran warga yang merasa terancam keselamatannya.
Warga Desa Sumber Dua mayoritas muslim. Di pinggir jalan yang menghubungkan antar kecamatan berdiri sebuah masjid megah bernama Baitul Mukminin. Apa yang dilakukan warga desa itu, tidak menjadi sorotan dari sisi keimanan. Karena warga desa di sana sepakat, bahwa adat istiadat harus berjalan beriringan dengan ajaran agama Islam.
"Itu kan adat orang Jawa ya. Kami semua muslim di sini sepakat, adat berjalan beriringan dengan agama. Asalkan tidak melanggar syariat, tidak merugikan orang lain dan bentuk ikhtiar untuk kebaikan, menurut saya gak papa," pungkas Suparman, pengurus masjid setempat.